BAB
IV
ANALISIS
DATA
4.1
Unsur Intrinsik Novel Roro Mendut Karya Y.B. Mangunwijaya
4.1.1
Tema
Tema adalah
ide, makna cerita gagasan sentral atau dasar cerita , pandangan hidup
pengarang yang melatar belakangi penciptaan karya sastra. Tema adalah
persoalan utama dalam karya sastra. Tema didukung oleh pelukisan latar atau
tersirat dalam lakonn-lakon tokohnya. Tema novel Roro Mendut Karya Y.B. Mangunwijawa
mengenai perjuangan dan pemberontakan perempuan melawan sistem patriarki dalam
era kerajaan Mataram, masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma dan anaknya
Raja Mangkurat I. Perjuangan dan pemberontakan itu ditujukan kepada budaya
patriarki yang mengekang para perempuan Jawa saat itu untuk bersikap dan tunduk
kepada titah laki-laki, terutama para perempuan ningrat yang tidak bisa memilih
sikap dan memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu yang mereka sukai, begitu
pula dalam soal percintaan.
Roro Mendut, gadis boyongan dari wilayah
pantai utara Telukcikal yang akan dijadikan selir dari Panglima Tinggi Mataram,
Tumenggung Wiraguna. Roro Mendut tidak seperti perempuan-perempuan ningrat lainnya.
Roro Mendut berani untuk menentang keinginan Tumenggung Wiraguna yang sangat
menginginkannya sebagai selir. Walaupun penolakan itu membawa nasibnya dan
kekasihnya Pronocitro, mati tertusuk keris Tumenggung Wiraguna.
Mendut disingkirkan
kasar oleh Wiroguno yang lalu berdiri menghadapi lawannya. Ancang-ancang tegang
dan lama sekali. Roro Mendut tidak tega melihat. Tetapi justru pada saat
Wiroguno secepat kilat menyerang, Roro Mendut menempatkan diri di muka
kekasihnya. Untung Wiroguno tepat saat mengurungkan tikaman mautnya.
“Mendut,” kata
Pronocitro lembut, “biarkan Pronocitro membuktikan cintanya padamu.”
Berlinang-linang
Mendut mengucapkan spontanitas wanita yang bernaluri memelihara dan menjaga
kehidupan.
“Tetapi, Mas, cinta
hanya bagi manusia yang hidup.” (RM, 1983:395—396).
“Saat ini, Adikku
Mendut, Pronocitro tidak punya pilihan lain. Menyerah berarti mati. Melawan
artinya masih punya harapan hidup. Itulah, Adikku, salah satu cara juga membela
kehidupan.”
Teriak Wiroguno,
“Sudah selesai membagikan warisan?”
Pronocitro tak
peduli masih berpesan kepada Mendut, “Mendut, bagaimanapun akhirnya, kita sudah
menang.”
Mendut masih
memegang kaki Pronocitro, tetapi sangat melukailah ejekan Tumenggung, “Wiroguno
masih sabar. Teruskanlah mesra-mesraanmu!”
Mendengar itu Mendut
berdiri tegak, dan mundur sedikit. Seluruh sikapnya sekarang adalah siap tempur
di samping kekasihnya. Silakan. Wiroguno tertawa.
Serangan kilat
Wiroguno benar-benar menentukan. Pronocitro tergelimpang di muka Roro Mendut
walaupun masih sempat menikam Wiroguno, yang terampil mengelakkan serangan.
Wiroguno mengamuk untuk kedua kalinya dan penuh nafsu menikamkan kerisnya
kearah dada Pronocitro. Tetapi pada saat ini Mendut maju spontan bermaksud
membela kekasihnya. Tanpa sengaja keris Wiroguno menusuk jantung Mendut yang
rebah di atas kekasihnya.
Sebuah gelombang
besar dari laut merenggut kedua kekasih yang bermandikan darah saling merangkul
itu. Terbawalah langsung mereka ke muara. Wiroguno masih dapat bertahan diri di
pasir pantai dan melarikan diri dari kemungkinan gelombang susulan. Gendhuk
Duku, kawan-kawannya dan seluruh prajurit dan rakyat dari jauh menjadi saksi,
bagaimana Mendut dan Ponocitro disambut oleh gelombang-gelombang laut dan
dihela menjauh dari pantai. Di lempar kembali ke muara, dihela lagi menjauh.
Berkali-kali dan masih saja saling berangkulan. Wiroguno tertegun, dan dengan
kerisnya di dahi, tunduk, perlahan-lahan duduk bersila di tanah, dan terharu
memberi hormat.
Gendhuk Duku dari
jauh melihat dua jenazah itu ditelan oleh gelombang-gelombang laut. Ia memacu
kudanya bagaikan kilat mendekati muara. Tertegun ia di muka tembok
gelombang-gelombang, bersembah hormat, penuh air mata. Tiba-tiba gadis itu
berpaling, memacu kudanya dan berlari kencang sekencang-kencangnya, seolah mau
menyelip si Lawan laut. Dua gatra orang, Ntir-Untir dan Bolu bergabung di
belakangnya. Mereka menjauh… menjauh…. (RM, 1983:396—397)
4.1.2
Amanat
Novel ini menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa kita boleh berkomitmen, tapi jangan sampai termakan oleh komitmen itu sendiri.
Seperti cinta yang mengikat, cinta pula yang memisahkan. Namun, cinta telah menyatukan mereka dalam satu nafas, kehidupan
dan kematian. Sedangkan, kekuasaan memang selalu menyiratkan kekuataan senjata
dan darah, lalu melupakan nilai-nilai kemanusiaan tentang cinta dan kasih
sayang.
Tinggal tiga pelaku utama, di bawah enam mata. Pronocitro
dan Mendut memandang ke laut. Muara Sungai Opak di hadapan mereka tanpa kata
mengingatkan, bahwa saat penentuan telah datang. Kemenangan atau kekalahan
bukan pertanyaan pokok, melainkan apakah ada kesanggupan untuk mempertaruhkan
segala-gala demi suatu keyakinan, bagi suatu cinta. Wiroguno yang membelakangi
laut sebenarnya telah keliru kedudukannya; ia berdiri sendirian, tanpa Nyai
Ajeng, Putri Arimbi, Sarinarendro, dan lain-lain. Sedangkan Pronocitro
didampingi Mendut dan Mendut disertai Pronocitro. Wiroguno membuka adegan
penentu.
”Tidak ada air yang sejati ingin merangkak kembali ke
lereng-lereng gunung. Di sinilah segala-galanya harus kita putuskan.
Pronocitro, kau sanggup?”
”Tidak sebagai hamba terhadap tuannya, tetapi Pronocitro
lawan Wiroguno, Kanjeng.”
Wiroguno terkejut, tampak ia naik pitam, tetapi reda
kembali, menyerah kepada keadaan. Pandangannya memanah Mendut, lalu ke
Pronocitro.
”Di hadapan maut memang tidak ada tuan tidak ada hamba.
(kepada Mendut) Mendut! Kau sanggup kehilangan kekasihmu?”
”Kekasih tidak pernah hilang, Kanjeng Tumenggung,” jawab
Mendut. Gesit menangkis serangan yang menghina itu. Bingung hati Wiroguno dari
dalamnya.
Tegaslah, siapa yang kau pilih: Wiroguno atau Pronocitro?
Langsung dijawab, ”Pronocitro!” Tanpa kehilangan persepuluh
detik pun.
Wiroguno menghembuskan nafas panjang. Pertanyaan yang
salah. Jawaban seharusnya sudah dapat diduga. Melukai. Harus jelas sekarang
kedudukan soal.
”Jangan punya penilaian keliru tentang Wiroguno. Wiroguno
Panglima Besar Mataram, dan Panglima Besar Mataram adalah Wiroguno. Tidak dapat
dipisahkan. Saat ini bukan saat berebutan perempuan. Memang benar rambut-rambut
rabaan wanitamu, Roro Mendut. Soalku sekarang adalah soal kewibawaan. Boleh
kausebut: soal senjata. Itu tugas panglima, dan Wiroguno tidak akan menghianati
tugas prajurit..., seperti kau pun, Pronocitro dan Mendut, kulihat tidak
menghianati cinta kalian.” (RM, 1983:393—394)
Serangan kilat
Wiroguno benar-benar menentukan. Pronocitro tergelimpang di muka Roro Mendut
walaupun masih sempat menikam Wiroguno, yang terampil mengelakkan serangan.
Wiroguno mengamuk untuk kedua kalinya dan penuh nafsu menikamkan kerisnya
kearah dada Pronocitro. Tetapi pada saat ini Mendut maju spontan bermaksud
membela kekasihnya. Tanpa sengaja keris Wiroguno menusuk jantung Mendut yang
rebah di atas kekasihnya.
Sebuah gelombang
besar dari laut merenggut kedua kekasih yang bermandikan darah saling merangkul
itu. Terbawalah langsung mereka ke muara. Wiroguno masih dapat bertahan diri di
pasir pantai dan melarikan diri dari kemungkinan gelombang susulan. Gendhuk
Duku, kawan-kawannya dan seluruh prajurit dan rakyat dari jauh menjadi saksi,
bagaimana Mendut dan Ponocitro disambut oleh gelombang-gelombang laut dan
dihela menjauh dari pantai. Di lempar kembali ke muara, dihela lagi menjauh.
Berkali-kali dan masih saja saling berangkulan. Wiroguno tertegun, dan dengan
kerisnya di dahi, tunduk, perlahan-lahan duduk bersila di tanah, dan terharu
memberi hormat. (RM, 1983:396—397)
Roro Mendut melakukan perjuangan melawan dominasi
kekuasaan demi kebebasan. Laki-laki adalah simbol kekuasaan, perempuan adalah
simbol kaum tertindas/menderita. Perjuangan Roro Mendut dalam mencari
kebebasannya adalah perjuangan melawan dominasi kekuasaan laki-laki, Wiroguno.
Budaya patriarki sudah tertanam lama di dalam masyarakat dan sudah membentuk
perilaku maupun hirarki nilai masyarakat. Dalam masyarakat ini, dominasi
laki-laki terhadap perempuan sudah dianggap hal yang wajar dan semestinya.
Perempuan melayani laki-laki adalah hala yang layak dan sepantasnya. Dengan
kata lain, penindasa pada perempuan adalah hal yang sudah semestinya.
Perlawanan perempuan terhadap dominasi laki-laki adalah hal yang tabu dan tidak
ada dalam hirarki nilai masyarakat patriarkal. Perlawanan Roro Mendut terhadap
Wiroguno adalah perlawanan terhadap nilai-nilai dalam masyarakat itu sendiri.
Akan tetapi, sebenarnya, Roro Mendut yang terbiasa hidup di pantai, bergelut
dengan ombak dan kebebasan lautan lepas mempunyai keyakinan akan nilai secara
lain. Baginya kebebasan perempuan adalah hak yang harus ia peroleh. Dominasi
laki-laki terhadap perempuan harus dilawan. Perlawanan ini harus selalu
disertai dengan keberanian dan kesetiaan. Meskipun akhirnya Roro Mendut mati,
namun ia tetap menang dalam melakukan perlawanan terhadap dominasi laki-laki.
Selama hidupnya, Roro Mendut tidak pernah mengalah pada dominasi laki-laki,
Wiroguno. Ia memperjuangkan kebebasan dan pilihannya sendiri.
4.1.3
Latar
Latar atau setting merupakan informasi yang
menggiring keberadaan tokoh-tokoh dalam cerita berdasarkan waktu ataupun tempat
tokoh tersebut diceritakan. Latar dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi
yang tergambar dalam cerita. Keberadaan elemen latar pada hakikatnya tidaklah
hanya sekedar menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa
berlangsung, melainkan keterkaitan dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku
sosial dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis.
4.1.3.1
Latar Waktu
Novel Roro Mendut mengambil latar Kerajaan
Mataram pada abad ke-17. Saat Sultan Agung berkuasa dan berjaya menaklukkan
kerajaan-kerajaan di wilayah Indonesia, saat-saat terakhir hingga mangkatnya
Sultan Agung beriringan dengan masa remaja Putra Mahkota.
4.1.3.2
Latar Tempat
Latar tempat pada Novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya
adalah sebagai berikut.
1.
Pantai Utara
Telukcikal
Pantai Utara Terlukcikal adalah tempat kelahiran dan kampong
halaman Roro Mendut. Di Telukcikal ia sering dipanggil si-Duyung.
Ombak-ombak berbuih
di pantai kampong nelayan Telukcikal pagi itu, seperti pagi itu, seperti
pagi-pagi yang lain, tak jera menderukan gelora kemerdekaan dan himne warta
keabadian, tak jera menderukan gelora kemerdekaan dan himne warta keabadian.
(RM, 1983:5)
… Si Duyung, begitu
panggilan sayang orang-orang kampong untuk si darah itu. (RM, 1983:6)
2.
Puri Pati
Adipati Pragolo memberian pesan secara pribadi kepada Ni
Semongko untuk merawat Roro Mendut dengan baik.
… “Dan memanglah, berulang-ulang
sang Adipati berpesan pribadi kepada Ni Semongko.
“Asuhlah Mendut-ku
dengan tepat, Ni Semongko. Saat ini tuanmu masih sedang bergulat menghadapi
Istana Mataram. Tuanmu Pragolo tidak ingin memangku gadis ini, sebelum
persoalanku dengan si Denmas Rangsang dari Karta itu selesai memuaskan. Tetapi
yakinlah, Ni Semongko, tugasku di medan laga. Tugasmu mendampingi gadis satu
ini. Sebab Adipati Pragolo ingin berperang dengan jiwa yang prihatin, tidak
dengan pinggang yang puas. Asuhlah putri duyung dari Telukcikal ini, dan nanti,
selaku kidung syukur atas kejayaan medan laga akan kunikmati Roro Mendut selaku
mahkota dari sikap dan perjuanganku; demi wilayah Pathi yang saya junjung
sebagai wilayah yang merdeka.” (RM, 1983:27)
3.
Kuthanegara
Kuthanegara adalah ibu kota Kerajaan Mataram pada masa
pemerintahan Sultan Agung.
Ibu kota Mataram,
kuthonegoro Karta hayuningrat. Berjejal-jejal rakyat mengelu-elu
barisan-barisan Mataram masuk pintu gerbang utama ibu kota. (RM, 1983:66)
4.
Istana Kerajaan
Sultan Agung
Latar tempat istana sering diceritakan ketika ada para
petinggi-petinggi sedang menghadap Raja. Wiraguna dating menghadap Raja Sultan
Agung dengan disambut secara resmi.
“Bumi Hayu mahargya
sang Wireng Yuda.
Kawula Mataram sokur
konjuk Gusti.
Retuning bumi wus
birat.
Wimbuh kuncoro gung
Nagri.
Gya wawarta Ki
Tumenggungung rawuh sampun.
Ngasta prantasan
sirah dhuwung Durpati.
Meriah agung suasana
Bangsal Kencoro istana Ingkang Sinuhun Susuhunan Hanyoko-Kusumo, Senopati
Ingalogo Mataram Abdurrahman Sayidin Panotogomo. Meriah agung memang
alunan-alunan gendhing Ketawang Ibu Pratiwi yang teriring oleh gamelan Kiai
Gala Ganjur yang termashur, dilagukan oleh ratusan pesinden yang mengombakkan
suasana kahyangan widadari mengelu-elu sang Wireng Yuda, sang pemenang dalam
perang. Bersama dengan sang priyayi ningrat seluruh kerajaan. (RM, 1983:77—78)
5.
Puri Wiragunan
Puri Wiragunan adalah tempat Roro Mendut tinggal dan
melaksanakan semua hukuman yang dia dapatkan dari Wiraguna. Disana juga tinggal
beberapa selir lainnya dan para dayang-dayang yang bertugas membantu Wiraguna
dan para putri-putri ningrat.
Bagi Nyai Ajeng
soalnya sudah jelas. Perawan pantai itu selekas mungkin harus ditolak dari puri
Wirogunan. Perangainya tidak sesuai dengan derajat martabat ningrat lingkungan
puri panglima besar. (RM, 1983: 118)
6.
Pasar
Pasar adalah tempar Roro Mendut dibantu Ni Semangka, Gendhuk
Duku, dan dayang-dayang yang lainnya berjualan rokok lintingan di pasar. Roro
Mendut hanya boleh berjualan sambal memakai tirai yang membatasi dirinya dan
para pembeli.
Dalam keragu-raguan
baiklah orang menunggu kepastian dengan berbuat amal dan kebajikan. Bukan!
Suaminya bukan algojo. Nyai Ajeng pun bukan. Maka jadilah, di warung pasar,
dekat persabungan ayam, Roro Mendut dan dayang-dayangnya memperoleh tempat
bagus untuk berjualan. Sesuai dengan kehendak Tumenggung Wiroguno, mereka
berjualan di belakang tirai yang oleh Mendut dipilih berwarna merah jambu elok.
Tirai dipasang tegap mirip kelir wayang kulit, dan keseluruhannya terhias serba
seni.(RM, 1983:225)
Hahahaa! Ya, ya, ya,
orang-orang di pasar semakin banyak yang antri. Maka seperti ular naga rimba.
Mentaoklah panjang urut-urutan. Perempuan-perempuan pasar geli campur jengkel
melihat sekian banyak kaum lelaki begitu gandrung kepada satu perempuan.
Sulitlah di sekitar pasar lalu linats kendaraan gerobak, cikar diatur. (RM,
1983:226)
7.
Muara Sungai
Oya-Opak
Muara Sungai Oya-Opak dekat pantai Selatan adalah tempat
kematian Roro Mendut dan Pronocitro dibunuh oleh Tumenggung Wiraguna.
Ditolong oleh
keterangan-keterangan dua pejabat desa pantai tadi, pelacakan tiba-tiba sudah
menjadi jauh lebih mudah. Pada hari itu juga pasukan-pasukan Wiroguno berhasil
memergoki Pronocitro dan kekasihnya di rakit dekat muara Sungai Oya-Opak.
Pronocitro dan Mendut masih mencoba membantu tukang rakitnya dengan
bamboo-bambu, agar lebih cepatlah rakit menyeberangkan mereka. Tetapi di tepi
sungai seberang muncul pula pasukan-pasukan Wiroguno. Kedua orang muda itu
terkepung. (RM, 1983:389)
4.1.4 Plot
Plot merupakan kekhasan dasariah suatu
narasi (narrative; propter hoc). Menurut tipenya, novel “Roro Mendut”
merupakan novel dengan tipe unified plot, dengan Roro Mendut sebagai
tokoh utamanya. Langkah-langkah memahami plot dalam novel “Roro Mendut”:
1. Eksposisi
Eksposisi merupakan sejumlah informasi awal
yang mutlak diperlukan agar narasi dapat dipahami (setting, tokoh, pemahaman
kunci)
Anak dari adik bungsu si nelayan tua, itulah dia. Kerap,
bahkan terlalu sering untuk ibunya, ia datang dari desanya ke Telukcikal, hanya
untuk ikut paman-tuanya naik perahu dan didekap dipermainkan ombak-ombak yang
nakal. (RM, 1983:6)
Mendut nama Den Roro. Artinya: serba lunak menggelombang,
dasar yang kokoh. (RM, 1983:21)
Gendhuk Duku… ibunya berasal dari Pulau Bima. Sejak kecil si
Gendhuk Duku boleh dikatakan disusui, ditimang dan dibesarkan di atas kuda. (RM,
1983:24)
Adipati Pragola tewas ditangan Wiroguno (RM, 1983:35). Ni
Semongko dan Gendhuk Duku mengiringi Roro Mendut yang bersama para putri bekas
istana Pathi diboyong di atas tandu-tandu ataupun kereta-kereta kuda ke ibu
kota negara yang tak terbantah memang sedang jaya-wijaya di atas
kerajaan-kerajaan seluruh Jawadwipa. (RM, 1983:36)
Wiroguno mempunyai banyak selir yang cantik; dan
garwo-padminya, Nyai Ajeng tidak hanya bergelar Bendoro Ajeng atau Ayu, akan
tetapi benar-benar ayu pula, wanita paling pandai di antara sekian istrinya.
Barangkali Sariranendra lebih mendalam jiwanya, memang dia cantik anak seorang
begawan yang pernah dijumpai Wiroguno dalam suatu perjalanan peperangannya ke
Madiun…. Arumardi adalah seorang selir juga; yang berasal dari suatu desa di
lereng Gunung Lawu, ternyata wanita muda yang cerdas, jujur lugu terutama. ….
Bahkan si Arimbipun itu seorang wanita yang pernah ia peroleh sebagai hadiah
dari seorang raja di sekitar Danau-besar Toba di pulau seberang,…berbadan besar
kekar seperti raksasa perempuan istri Werkudoro, yang tingkah ulahnya masih
serba persegi tanpa banyak basa-basi. (RM, 1983:82)
2. Momen yang menggugah
Momen yang menggugah terjadi pada saat
konflik atau problem muncul untuk pertama kalinya dan membangkitkan minat si
pembaca. Dalam novel “Roro Mendut” momen yang menggugah terjadi ketika Wiroguno
yang menyerbu Kadipaten Pathi bertemu dengan Roro Mendut. Ketika itu Roro
Mendut sedang berusaha untuk melarikan diri.
… Lunglai kehabisan nafas serta
tenaga akhirnya Mendut terjatuh, nyaris terinjak oleh kaki-kaki kuda yang
lewat. Kura Panglima Tumenggung Wiroguno sendiri. Saat itulah pertemuan pertama
antara panglima termasyhur Mataram dengan si Mendut. Kelas tidak cantik molek
ketika itu keadaan sang dara lemas. Tumenggung Wiroguno pun ketika itu hanya
menyangka dia perempuan kampung biasa yang sedang dikejar-kejar salah seorang
prajuritnya yang berangasan. Tetapi ketika sida-sida istana itu dengan segala
permohonan maaf melapor, bahwa yang tidak lengkap terbungkus kain serba robek
itu adalah salah seorang selir musuhnya, maka kepada gadis yang serba bercitra
liar itu beliau semakin menaruh perhatian. Baru sesudah Mendut berkecak
pinggang, dada membusung tanpa takut, dan tanpa satu kata pun menyinarkan
sorotan matanya yang penuh amarah dan ungkapan tantangan, tersenyumlah
Wiroguno. “Hanyut nyawa siapa yang berani menjamahku!” begitulah ancaman
sorotan mata harimau betina itu, yang juga langsung menikam mata panglima. (RM,
1983:49)
3. Komplikasi
Komplikasi merupakan saat berbagai usaha
ditampilkan untuk menyelesaikan problem atau konflik yang ada. Dalam novel
“Roro Mendut” ada beberapa komplikasi yang ditampilkan:
Komplikasi 1: Janji Wiroguno kepada Mendut tidak ditepati
Ketika Roro Mendut sudah dibawa ke puri Wirogunan, ia diminta
menari oleh Wiroguno.
“Apa tidak ada tari gaya Utara?
Wiroguno baru saja berbakti di Pathi, bukan?” Sebelum Nyai Ajeng menemukan
jawaban, karena sekonyong-konyong pecah selaput nalarnya dan paham, suaminya
sudah mengambil jalan pintas, “Tanyakan, apa gadis pantai itu dapat menari.”(RM,
1983:118).
Roro Mendut mau menari asalkan syaratnya dipenuhi, yaitu
“Sesudah puas melihat Mataram ini,
saya minta dikembalikan lagi ke rumah ibu saya.” (RM, 1983:121)
Wiroguno tidak memedulikannya dan tetap meminta Mendut menari.
“Kurang ajar! Kurang ajar anak
itu….. Pintar juga mengajukan syarat. Sudah, siapkan anak itu. Wiroguno ingin
melihat kemahiran orang-orang pantai menari.” (RM, 1983:122)
Pada malam Jumat Kliwon, ketika Nyai Ajeng sedang menjamasi
pusaka, Mendut dipanggil masuk ke tempat pusaka. Nyai Ajeng hendak meluluhkan
hati Mendut, namun Mendut justru berpikir ini saatnya menagih janji. Namun
janji itu tidak dipenuhi:
“Untuk memohon
ingat, bahwa pada hamba telah diberikan janji, boleh pulang ke rumah ayah-ibu
hamba.” (RM, 1983:169)
Namun Nyai Ajeng menolaknya dengan berkata, “Kau
tidak berhak memerintah Panglima Besar Mataram.” “Yang berjanji kau boleh
pulang itu Wiroguno, tahu! Tetapi yang menghendaki kau menjadi pendampingnya
ialah penglima perang yang jaya atas kadipaten Pathi. Dan jangan khilaf:
Ingkang Sinuhun Susuhunan pribadi!” (RM,
1983:170)
Komplikasi 2: Roro Mendut harus membayar pajak tiga real
sehari
Untuk meyakinkan kerajaan-kerajaan di Pantai
Utara tentang keperkasaan Mataram, Susuhunan Hanyokrokusuma mengadakan Sodoran-Setonan
(latihan perang pada hari Sabtu) yang dipimpin Panglima Wiroguno. Bagi
Wiroguno, ini bukan hanya soal unjuk kekuatan Mataram, namun juga saat untuk unjuk
kekuatan dirinya di hadapan Mendut. Namun, waktu itu Mendut tidak datang.
Nyai Ajeng:
“Maaf, Kanjeng, dia belum menyerah.”…. (RM, 1983:186) Lagi sosok Panglima
Wiroguno menyambar di muka para puteri di bawah beringin di tepi alun-alun,
berputar dan mendadak berhenti di muka Nyai Ajeng. “Dia ikut menonton?” Nyai
Ajeng tidak dapat menjawab dan berputar kepada rekan-rekannya. “Mendut di mana
tadi?” Putri Arimbi langsung tanpa tedheng aling-aling memberi keterangan,
“Tadi memancing dengan dayangnya.” …. Geram ia berkata kepada Nyai Ajeng,
“Baik. Mendut boleh membangkang. Tetapi dia dulu warga negeri Pathi, yang
memberontak melawan Mataram. Maka dia harus membayar pajak. Sampai dia
bertekuk-lutut.” … (RM, 1983:187)
“Sudah! Tiga real bolehlah. Wiroguno bukan algojo. Katakanlah ini kepada si
Medut itu.” Dan berputarlah Wiroguno, lari galop ke pergumulan perang-perangan,
wilayah kegemarannya. (RM, 1983:189)
Sedikit di luar kuthonegoro Karta ada danau kecil Dyah Anjani
namanya, yang mendapat air dari udik Sungai Gajah-Wong. Di situlah, dengan
pembayangan dua orang pengawal Wirogunan, Roro Mendut dan Gendhuk Duku
menghibur diri berenang-renang dan main-main naik perahu. (RM, 1983:191)
Roro Mendut kemudian mencari akal dan akan menjual rokok di
pasar.
Wiroguno:
“Sudah! Pokoknya bilang kepada Mendut: boleh! Diizinkan dia
berjualan rokok. Tetapi pajak harus tetap dibayar.” (RM, 1983:221)
Komplikasi 3: Pajak dinaikkan menjadi sepuluh real
Mendut dapat membayar pajak dari penjualan puntung rokok,
tetapi Wiroguno menaikkan nilai pajaknya menjadi sepuluh real.
“Pelan-pelan ada pundi-pundi di maja disodorkan ke hidung
Tumenggung. Terkejutlah Wiroguno. Ah, Nyai Ajeng. Begitu lembut seperti kucing,
istrinya itu mendekat, dan begitu tertambat sang Tumenggung pada
kalimat-kalimat bacaan Ngabehi Suwitoprojo, sehingga tak terdengar sama sekali
Nyai Ajeng mendekat. Muka terenyum lelah bercampur setetes ejekan, berkatalah
ia halus, “Kewajibanlah, Kakanda, yang membawa Nyai Ajeng kemari membawa pajak
seperti yang telah Kakanda perintahkan.” “Pajak apa?” tanya Wiroguno agak gusar
karena renungan tentang Resi Bismo melawan Srikandi tadi menjadi buyar. “Roro
Mendut.” “Ah! Lagi si dia.” Nada suara Wiroguno menyayat hati Nyai Ajeng.
Kasihan memang seorang panglima yang kalah. Apalagi kalah terhadap perempuan.
Lemas jadinya seperti Bolodewo kehilangan gapitnya. Dia akan tenggelam atau
mengamuk. Tetapi suaminya masih dapat mengekang perasaan. Perasaan? Tiada
perasaan. Kehampaan. “Bagaimana selanjutnya, Kakanda?” “Sepuluh real sehari!”
bentaknya.” (RM, 1983:237—238)
4. Turning Point/Klimaks
Klimaks atau turning point merupakan
momen tertinggi yang dicapai oleh sang protagonis dalam perjalanan kariernya,
saat situasi mencapai keadaan terbaik atau terburuk (titik nadirnya). Dalam
novel “Roro Mendut” ini, Roro Mendut mencapai kemenangan besar terhadap
Wiroguno ketika ia dapat mengumpulkan perhiasan, gelang, anting-anting, gasper
sabuk perak dan keris meskipun pajaknya dinaikkan menjadi sepuluh real.
Namun sudah sejak
hari ketiga wana ular antri sudah menjadi lain. Dari warna lusuh dan hitam kaum
kampung rendah berganti ke warna batik dan sutera kaum menengah… (RM, 1983:242)
Mendut sendiri
dengan dayang-dayangnya di belakang tirai tanpa dapat beristirahat melayani
nafsu para penghisap puntung. Atas nasehat Ni Semongko, asap tidak dihisap
tetapi ditiup saja, sehingga Mendut tidak mabok asap tembakau. Yang penting kan
ludahnya. Gendhuk Duku membantu mempersiapkan batangan-batangan rokok dan Ni
Semongko sibuk terus menghitung uang yang masuk. Kadang-kadang ada seorang
pegawai tinggi membayar jauh lebih banyak daripada harga sebenarnya. Bahkan
perhiasan-perhiasan, gelang, anting-anting, gasper sabuk perak, keris-keris pun
mengalir masuk dalam tangan-tangan gendhut Ni Semongko. (RM, 1983:243—244)
Namun, saat itu ia juga merasakan kejatuhan dalam batinnya.
Namun, keberhasilan
dari segi harta itu tidak dapat menghibur Mendut, yang seolah pingsan-sadar
melayani semua pengagumnya, namun menangis dalam hati. Ke mana ini semua?
Apakah akan begini terus? Teringatlah Mendut pada suatu pesan
ayahnya:”Keberhasilan yang memuncak sering merupakan tanda-tanda awal suatu
keruntuhan.” Mendut hanya dapat berdoa dalam lubuk hati. (RM, 1983:244)
Wiroguno pun merasakan kekalahannya:
Bayangan-bayangan
gelap pelan-pelan bergerak pada dinding-dinding emperan gandhok. Nyai Ajeng
datang lagi. Bersila dan menyembah. Dalam cahaya pelita yang menari-nari redup,
wajah sang istri perdana tampak cantik, jauh lebih bercahaya, karena kontrasnya
dengan gelap sekelilingnya. Seolah-olah hanya wajah itulah yang berpentas dan
menawarkan diri. Luwes isterinya bersembah, sesudah meletakkan suatu barang di
atas tikar sampingnya. Ia membawa pundi-pundi penuh uang lagi. Wiroguno sudah
tahu. Lesu dipandanginya istri yang menjadi kebanggaan Wirogunan. (RM, 1983:288)
Lebih tegas lagi, kemenangan ini ditampakkan dalam pengakuan
Nyai Ajeng:
Pelan-pelan Nyai Ajeng mengangkat pundi-pundi Mendut, yang
tidak hanya berisi real-real pajak, 10 mata uang emas, akan tetapi bahkan upeti
penghormatan kepada sang Tumenggung. Harus diakui, Roro Mendut menang gemilang.
Kemenangan Roro Mendut pada hakekatnya kemenangan kaum wanita juga. Hal itu
sangat terasa oleh Nyai Ajeng, yang selain wanita cantik, bernalar cerdas juga.
Ada dalam diri seorang istri yang mendorongnya membela suami. Akan tetapi,
dalam banyak segi, setelah kedudukan dan penghargaan selaku isteri atau ibu
tercapai, maka segi wanitalah yang akan lebih berbicara. Bagaimanapun, Roro
Mendut toh semacam pahlawan juga. (RM,
1983:295)
5. Resolusi
Resolusi merupakan saat-saat penyelesaian konflik. Konflik
antara Roro Mendut dan Wiroguno diakhiri dengan beberapa tahapan. Setidaknya
ada tiga tahapan resolusi berikut ini:
Resolusi 1: Roro Mendut bertemu dengan Pronocitro
Ketika Roro Mendut berhasil menjual puntung
rokok pada puncak perjalanannya, Pronocitro pun datang ke pasar tersebut. Di
sana ia mencari tahu siapa penjual puntung rokok yang amat digemari itu. Dengan
bantuan Ntir-untir dan Bolu, Pronocitro akhirnya tahu bahwa si penjual puntung
rokok adalah Mendut, perawan pantai utara yang menjadi tambatan hatinya.
Pengarang mengkisahkan pertemuan mereka berdua dengan menceritakan pergulatan
dalam hati mereka.
Dan loloslah
Pronocitro, yang menyusup tenang dan aman ke belakang kedai.
Siapakah engkau?
Tanya dua pasang mata, terkejutlah bersama-sama. Aku pernah melihatmu! Aku
pernah mengenalmu, kata yakin lubuk dua hati yang heran terharu. Siapakah yang
mengutusmu kemari? Siapakah yang mendorongku melangkahi jarak begitu jauh,
hanya untuk bersua denganmu? Ada saat-saat yang justru meniadakan waktu. Ada
peristiwa yang justru meniadakan kejadian. Seolah-olah keabadian dan impian
lalu saling berciuman dan segala-gala telah terpenuhi. ………. Tak mustahil, gadis
yang menurut kata orang bernama Roro Mendut itu si gadis nelayan di dermaga,
pukauan hati yang dahulu itu?…
Kau menderita,
Lelaki muda, dengan wajahmu yang tenang di tampang, namun gemetar sinar dalam
yang kutangkap dari manik-manik matamu. Ah sama denganku. Kau menderita. Tapi
perawanku lebih menderita. Kau merdeka, aku tawanan. Kau dapat memilih
kekasihmu. Aku setiap saat dapat diperkosa. Bersungguh-sungguh citra wajahmu.
Siapa kau untukku? Kau bukan jenis Arjuno…………. Ataukah kau kesatuan
Nakulo-Sadewo, setiawan yang tekun, tak ingin tenar sendirim tetapi yang tak
pernah dapat lupa………. Siapa namamu? Ah, maukah kau menjadi Nakulo-ku? Ah,… kau
lelah, beranjak ingin pergi? Takut barangkali? Atau bosan, memandang hina pada
penjual puntung rokok yang nyaris pelacur ini? Jangan pergi, ah, Nakulo, jangan
pergi… (257—259)
Resolusi 2: Pronocitro membawa lari Mendut tetapi ia
menolak
Sehari sesudah bertemu dengan Roro Mendut,
saat acara sabung ayam, Pronocitro membawa lari Roro Mendut. Ketika itu terjadi
kerusuhan di pasar. Suasana pasar kacau balau dan Pronocitro membawa lari Roro
Mendut, Genduk Duku dan Ni Semongko. Namun, Roro Mendut menolak karena ia
teringat temannya, Putri Arumardi yang juga menderita di puri Wirogunan.
Kalangan pengantri kedai Mendut sudah mulai
ribut yang menjurus gawat. Berteriaklah Mendut, “Mas Prono! Mas Prono!” Gendhuk
menangis. Ni Semongko panik. Dalam kedai benar huru-hara terjadi, karena Mendut
sudah lelah patah tidak mau menjual rokok lagi. Hatinya merintih,
“Pertarungan, apa
maknanya …
Pergulatan, apa
artinya….
Manusia tak mau
kalah.
Manusia mencari kejayaan.
Kepada hidup manusia
berkata: Sendiko! Sendiko! Sendiko! Mboten! Mboten! Mboten!
Sendiko-mboten-sendiko-mboten-sendiko-mboten-sendikoooooo!”
Pronocitro gelisah
dalam hati. Tanpa menunggu lagi hasil lomba sabungan ayam, ia lari ke kedai
Mendut. Diikuti punakawannya yang setia, penjagaan di gang didobrak dan seperti
angin ribut ketiga orang itu masuk ke dalam kedai Mendut. Mendut dan
kawan-kawan terkejut, tetapi berlimpah gembira. Ketiga wanita itu langsung
dilarikan ke cikar-cikar dagang Pronocitro. (RM, 1983:318—319)
“Tawaranmu telah
kubayangan berhari-hari, tetapi aku tidak berhak membebankan nasibku padamu.
Jangan! Jangan, Mas!”
“Tekadku sudah
bulat. Dan tanggungjawabku adalah kehormatanku.”
Mendut menagis
lirih.
“Barangkali aku
belum siap. Ada seorang sahabat setia yang menderita seperti aku di dalam puri,
yang tak mungkin kutinggalkan begitu saja.”
“Dayang-dayangmu?”
“Ya.”
“Semua mereka akan
ikut kita.”
“Masih satu lagi …,
Putri Arumardi, seorang selir muda, sahabat baruku.”
“Dia boleh ikut, kalau
mau.”
“Perlu saya
persiapkan dahulu.”
“Tetapi ah,… kita
tak punya waktu. Bagaimana, sekarang saja?”
“Jangan, jangan Mas
Prono.”
Hormat Pronocitro
mencium kedua beah mata Mendut.
“Belum pernah aku
berjumpa dengan jiwa semulia kau, Adikku…Adikku…oh, barangkali justru akulah
yang harus kau selamatkan.”
“Tidak… tidak…, si
Mendut-lah yang membutuhkan Pronocitro.” Dan dicium olehnya kedua mata
Pronocitro.
“Ah, sekali saat,
entah kapan, kita pasti saling bersua lagi.” (RM, 1983:322—323)
Resolusi 3: Pronocitro dan Mendut melarikan diri
Pronocitro telah menjadi penjinak kuda
keputrian di puri Wirogunan. Pada suatu malam, ia telah berniat untuk membawa
lari Roro Mendut. Usahanya ini diketahui oleh Nyai Ajeng dan Wiroguno. Wiroguno
ingin mengejar mereka berdua tetapi Nyai Ajeng membiarkannya lari.
Pronocitro melompat
pagar dan masuk halaman keputrian. Berhati-hati ia mendekati gandhok.
Dipanggilnya lirih kekasihnya yang pas mau masuk pintu. Ketika melihat
Pronocitro, Mendut terbelalak matanya, telapak tangan di muka mulut, dan
tergopoh langsung mematikan lampu……Prajurit tadi melapor kepada penatus, bahwa
Pronocitro telah masuk. Penatus melapor kepada dayang-utama Nyai Ajeng. Dayang
Nyai Ajeng melapor kepada Nyai Ajeng yang sudah terbaring di ranjang. Nyai
Ajeng lekas berbusana sedikit, lalu menemui penatus Jogopuro yang masih
menunggu di luar. Mereka berunding apa yang sebaiknya dikerjakan. Akhirnya Nyai
Ajeng memutuskan untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Pelan-pelan
mereka, dengan disertai dayang-utama pergi ke bagian gandhok Mendut ……( RM, 1983:360)
Saat kejadian itu,
Nyai Ajeng membawa Wiroguno ke gandhok Mendut:
“Kakanda, daripada
hanya membayangkan saja, mari kita tengok kekasih Kanjeng.” (RM, 1983:362)
Tak terasa mereka
sampai di gerbang halaman keputrian. Penatus Jogopuro memberi hormat, bersembah
dan melapor menurut instruksi, “Dia masih di dalam.”
Nyai Ajeng (sengaja
keras-keras), “Siapa?”
“Pronocitro,
Puanku.”
Jantung Wiroguno
serasa berhenti.
“Pronocitro? Di
dalam?”
Meledaklah sekarang
segala kubah lahar yang selama ini tertumpuk. Sungguh dahsyat mengerikan bila
gunung seperti Merapi meletus. Mengamuklah Wiroguno masuk ke halaman menuju
gandhok Mendut. Digebraknya pintu. Ni Semongko dan Gendhuk Duku menjerit dan
langsung spontan lari. Ruang tidur Mendut ternyata kosong.
Nyai Ajeng
membisikkan perintah kepada Jogopuro, “Biarkan dua orang itu lari!”……..
Prajurit dan
dayang-dayang berbondong lari ke kandang kuda. Keputrian menjadi sepi.
Lekas-lekas Putri Arumardi masuk gandhoknya dan memberi tanda. Secepat badai,
Pronocitro dan Roro Mendut yang oleh kewaspadaan Arumardi disembunyikan dalam
gandhoknya berlari keluar, memanjat tangga yang tak kelihatan tersembunyi di
balik dedaunan pohon sawo kecik yang rindang, gesit meloncat di atas
dinding puri. Di luar Ntir-untir dan Bolu sudah siap dengan tangga lain. Tanpa
menghamburkan secuil detik Mendut diangkat di atas kuda yang telah siap, dan
berlarilah kedua kekasih itu ke dalam kegelapan malam. Ntir-untir dan Bolu
cepat-cepat naik kuda mereka masing-masing dan lari ke arah yang berlawanan. (RM, 1983:364—365)
6. Konklusi/Hasil akhir
Konklusi merupakan hasil akhir dari cerita.
Hasil akhir dari novel “Roro Mendut” merupakan closed ending. Setelah
melarikan diri, Roro Mendut dan Pronocitro akhirnya sampai di muara sungai
Oya-Opak. Wiroguno akhirnya menemukan mereka dan menantang untuk berkelahi
dengan Pronocitro. Mendut dan Pronocitro mati di tangan kekuasaan Wiroguno.
Serangan kilat Wiroguno
benar-benar menentukan. Pronocitro tergelimpang di muka Roro Mendut, walaupun
masih sempat menikam Wiroguno, yang terampil mengelakkan serangan. Wiroguno
mengamuk untuk keduakalinya dan penuh nafsu menikamkan kerisnya ke arah dada
Pronocitro. Tetapi pada saat itu Mendut maju spontan bermaksud membela
kekasihnya. Tanpa sengaja keris Wiroguno menusuk jantung Mendut yang rebah di
atas kekasihnya. Sebuah gelombang besar dari laut merenggut kedua kekasih yang
bermandikan darah saling merangkul itu. Terbawalah langsung mereka ke muara. (RM, 1983:369)
4.1.4
Gaya
Penceritaan
Unsur gaya atau style,
menurut Nurgiyantoro (1998:276—277), dapat dilihat dari penggunaan bahasa,
pilihan kalimat, dialog, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi
ataupun detail. Gaya pada hakikatnya merupakan suatu teknik yaitu, teknik
pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan
diungkapkan.
Gaya penceritaan yang
digunakan oleh Y.B. Mangunwijaya mengungkapkan kisah yang penuh intrik. Kisah
Rara Mendut yang berlatar sejarah Kerajaan Mataram diceritakan secara ringan.
Pengarang juga memasukkan kutipan-kutipan pepatah, syair-syair dalam tembang
Jawa dan humor-humor yang segar, sehingga pembaca bisa menikmati isi cerita
yang penuh konflik tanpa tegang disepanjang cerita.
(Ntir
Untir) :
“Naiklah
cikar kuda, berlari ke Selatan.”
(Bolu
sambil menggandul di samping kusir):
“Sungguh sukar diduga arah hati perawan.”
(Ni
Simongko):
“Semongko
di pesisir, buah manggis di teluk.”
(Gendhuk
Duku):
“Jejaka
yang menaksir, namun gadis yang menunjuk.”
(Ni
Semongko):
“Mendaki
si Ketilang, duluan Burung Puyuh.”
(Gendhuk
Duku):
“Lelaki
yang meminang, perempuan yang menyuruh.” (RM, 1983:325—326)
Selanjutnya, digambarkan juga bahwa para
lelaki yang menunggu antrian untuk membeli puntung rokok Roro Mendut, mengisi
waktu mereka dengan pantun.
“Mulailah
suatu kelompok yang suka bergendhing-gendhing mengisi waktu tunggu yang semakin
panas dalam lagu Pocung kethok rak lesung, sahut-menyahut trampil sekali. Tidak
kalah disejajarkan dengan orang-orang Melayu yang pandai bersahut-sahutan dalam
pantun.
“Pisan
iki aku gandrung putri ayu.”
“Ning
dhaup, segoro!”
“Lothung
dikon angon minthi.”
“Uthung
dikon ngangsu.”
“Menek
ngundhuh klopo.” (RM, 1983: 227—228)
…seperti
tongkat estafet, tongkat dialog berlagu-lagu itu diteruskan,
“Keok
kalah lawan wong ayu!”
“Puntung
kotor begitu saja mau!”
“Dasar
lelaki suka ditipu!”
“Memang
lelaki dari dulu otaknya dari tahu!”
(RM,
1983:228)
4.2
Riwayat Y.B. Mangunwijaya
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya lahid ri
Ambarawa, Kabupaten Semarang, 06 Mei 1929. Pada usia 69 tahun, ia meninggal
tanggal 10 Februari 1999 pukul 14:10 WIB di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta.
Ia meninggal setelah terkena serangan jantung saat berbicara di Hotel Le
Meridien, Jakarta dan disemayamkan di makam biara, Kentungan—Yogyakarta. Y.B.
Mangunwijaya mempunyai panggilan populer Romo Mangun. Semasa hidupnya, ia
dikenal sebagai seorang rohaniawan, budayawan, arsitek, penulis, dan pembela
rakyat kecil.
Pada tahun 1936, Romo
Mangun masuk HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan, Magelang. Setelah tamat di
tahun 1943, dia meneruskan ke STM Jetis, Yogyakarta. Selanjutnya, ia mulai
tertarik pada Sejarah Dunia dan Filsafat. Sebelum sekolah tersebut dibubarkan
setahun kemudian, dia aktif mengikuti kingrohosi yang diadakan tentara Jepang
di lapangan Balapan, Yogyakarta. Di tahun 1945, ia bergabung sebagai prajurit
TKR Batalyon X Divisi III dan bertugas di asrama militer di Vrederburg, lalu di
asrama militer Kotabaru, Yogyakarta. Dia sempat ikut dalam pertempuran di
Ambarawa, Magelang, dan Mranggen. Setahun kemudian dia kembali melanjutkan
sekolahnya di STM Jetis dan bergabung menjadi prajurit Tentara Pelajar. Setelah
lulus pada tahun 1947, Agresi Militer Belanda I melanda Indonesia sehingga Romo
Mangun kembali bergabung dalam TP Brigade XVII sebagai Komandan TP Kompi Kedu.
Biografi Romo Mangun
1948
|
Masuk
SMU-B Santo Albertus, Malang
|
1950
|
Sebagai
perwakilan dari Pemuda Katolik menghadiri perayaan kemenangan RI di alun-alun
kota Malang. Disini Romo Mangun mendengar pidato Mayour Isman yang kemudian
sangat berpengaruh bagi masa depannya.
|
1951
|
Lulus
SMU-B Santo Albertus, melanjutkan ke Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta.
|
1952
|
Pindah
ke Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang.
|
1953
|
Melanjutkan
ke Seminari Tinggi. Sekolah di Institut Filsafat dan Teologi Santo Paulus di
Kotabaru. Salah satu pengajarnya adalah Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ.
|
1959
|
08
September ditahbiskan menjadi Imam oleh Uskup Agung Semarang, Mgr. Albertus
Soegijapranata, SJ. Melanjutkan pendidikan di Teknik Arsitektur ITB.
|
1960
|
Melanjutkan
pendidikan arsitektur di Rheinisch
Westfaelische Technische Hocheshule, Aachen, Jerman.
|
1963
|
Menemani
saat Uskup Agung Semarang, Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ menginggal dunia
di Biara Suster Pusat Penyelenggaraan Ilahi di Harleen, Belanda.
|
1966
|
Lulus
Pendidikan arsitektur dan kembali ke Indonesia.
|
1967—1980
|
Menjadi
Pastor Paroki di Gereja Santa Theresia, Desa Salam, Magelang. Mulai
berhubungan dengan pemuka agama lain, seperti Gus Dur dan Ibu Gedong Bagoes
Oka. Menjadi Dosen Luar Biasa jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM. Mulai
menulis artikel untuk koran Indonesia Raya dan Kompas, tulisan-tulisannya
kebanyakan bertema: agama, kebudayaan, dan teknologi. Juga menulis cerpen dan
novel.
|
1975
|
Memenangkan
Piala Kincir Emas, dalam cerpen yang diselenggarakan Radio Nederland.
|
1978
|
Atas
dorongan Dr. Soedjatmiko, Romo Mangun mengikuti kuliah singkat tentang
masalah kemanusiaan sebagai Fellow of
Aspen Institute for Humanistic Studies, Aspen, Colorado, AS.
|
1980—1986
|
Mendampingi
warga tepi Kali Code, yang terancam penggusuran. Melakukan mogok makan
menolak rencana penggusuran.
|
1986—1994
|
Mendampingi
warga Kedung Ombo yang menjadi korban proyek pembangunan waduk.
|
1992
|
Mendapat
The Aga Khan Award untuk arsitektur Kali Code.
|
1994
|
Mendirikan
laboratorium Dinamika Edukasi Dasar. Model pendidikan DED ini diterapkan di
SD Kanisius Mangunan, di Kalasan, Sleman, Yogyakarta.
|
26
Mei 1998
|
Romo
Mangun menjadi salah satu pembicara utama dalam aksi demonstrasi peringatan
terbunuhnya Moses Gatutkaca di Yogyakarta.
|
10
Februari 1999
|
Wafat
karena serangan jantung, setelah memberikan ceramah dalam seminar
Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru di
Hotel Le Meridien, Jakarta.
|
Riwayat Pendidikan Romo
Mangun
1936—1943
|
HIS
Fransiscus Xaverius, Muntilan, Magelang
|
1943—1947
|
STM
Jetis, Yogyakarta
|
1948—1951
|
SMU-B
Santo Albertus, Malang
|
1951
|
Seminari
Menengah Kotabaru, Yogyakarta
|
1952
|
Seminari
Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang
|
1953—1959
|
Filsafat
Teologi Sancti Pauli, Koatabaru, Yogyakarta
|
1959
|
Teknik
Arsitektur, ITB, Bandung
|
1960—1966
|
Reinisch
Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman
|
1978
|
Fellow Aspen
Institute for Humanistic Studies, Colorado, Amerika Serikat.
|
Romo
Mangun mendapatkan penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Penganugerahan ini atas rekomendasi Sekretariat Dewan
Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Penganugerahan ini berlangsung di Istana Negara pada tanggal 11
November 2010, setelah 9 bulan ia meninggal.
Romo
Mangun dan Sastra
Romo Mangun mulai
mengenal sastra saat tamat dari bangku SD tahun 1943. Kemampuannya dalam
menulis terbangun ketika ia masih di bangku SD. Guru-guru SD-nya waktu itu
adalah para biarawan Belanda yang mendidik muridnya agar dapat berpikir luas.
Ilmu bumi bukan hanya menghafal nama kota, laut, dan lain-lain. Namun,
diajarkan dengan merangsang imajinasi masing-masing siswa ke tempat-tempat yang
lebih jauh lagi. Dengan paparan tentang budaya dan sejarah bangsa lain sehingga
menarik minat siswa untuk menekuninya. Ia diajarkan untuk membuat karangan yang
spesifik yang mengharuskan untuk melakukan observasi, menganalisis, dan
mencatat hal-hal yang diperlukan untuk menulis karangan, sehingga karangan akan
menjadi lengkap. Para guru di sekolah SD itu sangat memperhatikan daya tarik
dan kreativitas dari setiap murid-muridnya.
Romo
Mangun menaruh perhatian lebih pada pendidikan anak-anak. Tulisannya tentang
pendidikan anak antara lain termuat dalam buku “Menumbuhkan Sikap Religiusitas
Anak-anak”, “Tumbal” (kumpulan esai), artikel di majalah Basis “Mencari Visi
Dasar Pendidikan”, kumpulan esai “Impian dari Yogyakarta”.
Karya
sastra yang ia baca waktu itu dan masih membekas sampai ia dewasa adalah “Max
Havelaar” karya Multatuli. Struktur cerita novel itu juga diakui ia pakai dalam
menulis “Burung-Burung Manyar.”
Romo Mangun dikenal
melalui novelnya yang berjudul Burung-Burung Manyar. Mendapatkan
penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996.Ia banyak
melahirkan kumpulan novel seperti di antaranya: Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa,
Roro Mendut, Durga/Umayi, Burung-Burung Manyar dan
esai-esainya tersebar di berbagai surat kabar di Indonesia. Buku Sastra dan
Religiositas yang ditulisnya mendapat penghargaan buku non-fiksi terbaik
tahun 1982.
Romo
Mangun Arsitektur
Dalam bidang arsitektur, beliau juga kerap dijuluki sebagai
bapak arsitektur modern Indonesia. Salah satu penghargaan yang pernah
diterimanya adalah Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur, yang merupakan
penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, untuk rancangan
pemukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta. Ia juga menerima The Ruth and Ralph
Erskine Fellowship pada tahun 1995, sebagai bukti dari dedikasinya terhadap wong
cilik. Hasil jerih payahnya untuk mengubah perumahan miskin di sepanjang
tepi Kali Code mengangkatnya sebagai salah satu arsitek terbaik di Indonesia.
Menurut Erwinthon P. Napitupulu, penulis buku tentang Romo Mangun yang akan
diluncurkan pada akhir tahun 2011, Romo Mangun termasuk dalam daftar 10 arsitek
Indonesia terbaik. Karya-karya arsitekur Romo Mangun adalah sebagai berikut.
1. Pemukiman
warga tepi Kali Code, Yogyakarta
2. Kompleks
Religi Sendangsono, Yogyakarta
3. Gedung
Keuskupan Agung Semarang
4. Gedung
Bentara Budaya, Jakarta
5. Gereja
Katolik Jetis, Yogyakarta
6. Gereja
Katolik Cilincing, Jakarta
7. Markas
Kowihan II
8. Biara
Trappist Gedono, Salatiga, Semarang
9. Gereja
Maria Assumpta, Klaten
10. Gereja
Maria Sapta Duka, Mendut
11. Gereja
Katolik St. Pius X, Blora
12. Wisma
Salam, Magelang
Romo
Mangun Politik
Kekecewaan Romo Mangun terhadap sistem pendidikan di
Indonesia menimbulkan gagasan-gagasan di benaknya. Dia lalu membangun Yayasan
Dinamika Edukasi Dasar. Sebelumnya, Romo membangun gagasan SD yang eksploratif
pada penduduk korban proyek pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, serta
penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta.
Perjuangannya
dalam membela kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan oleh politik dan
kepentingan para pejabat dengan “jeritan suara hati nurani” menjadikan
dirinya beroposisi selama masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Buku dan tulisan Romo
Mangun
- Balada Becak, novel, 1985
- Balada dara-dara Mendut, novel, 1993
- Burung-Burung Rantau, novel, 1992
- Burung-Burung Manyar, novel, 1981
- Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa, 1987
- Durga Umayi, novel, 1985
- Esei-esei orang Republik, 1987
- Fisika Bangunan, buku Arsitektur, 1980
- Gereja Diaspora, 1999
- Gerundelan Orang Republik, 1995
- Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa, novel, 1983
- Impian Dari Yogyakarta, 2003
- Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta, 2000
- Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan: renungan filsafat hidup, manusia modern, 1999
- Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia, 1999
- Menjadi generasi pasca-Indonesia: kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, 1999
- Menuju Indonesia Serba Baru, 1998
- Menuju Republik Indonesia Serikat, 1998
- Merintis RI Yang Manusiawi: Republik yang adil dan beradab, 1999
- Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein, 1999
- Pemasyarakatan susastra dipandang dari sudut budaya, 1986
- Pohon-Pohon Sesawi, novel, 1999
- Politik Hati Nurani
- Puntung-Puntung Roro Mendut, 1978
- Putri duyung yang mendamba: renungan filsafat hidup manusia modern
- Ragawidya, 1986
- Romo Rahadi, novel, 1981 (terbit dengan nama samaran Y. Wastu Wijaya)
- Rara Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, novel trilogi, dimuat 1982-1987 di harian Kompas, dibukukan 2008
- Rumah Bambu, kumpulan cerpen, 2000
- Sastra dan Religiositas, kumpulan esai, 1982
- Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat, 1999
- Soeharto dalam Cerpen Indonesia, 2001
- Spiritualitas Baru
- Tentara dan Kaum Bersenjata, 1999
- Tumbal: kumpulan tulisan tentang kebudayaan, perikemanusiaan dan kemasyarakatan, 1994
- Wastu Citra, buku Arsitektur, 1988
Buku tentang Romo
Mangun
- Sumartana, dkk. Mendidik Manusia Merdeka Romo Y.B. Mangunwijaya 65 Tahun. Institut Dian/Interfedei dan Pustaka Pelajar, 1995. ISBN 979-8726-01-4.
- Wahid, Abdurrahman. Romo Mangun Di Mata Para Sahabat. Kanisius, 1999. ISBN 979-672-431-6.
- Priyanahadi, dkk. Y.B. Mangunwijaya, Pejuang Kemanusiaan. Kanisius, 1999. ISBN 979-672-435-9.
- Prawoto, Eko A. Tektonika Arsitektur Y.B. Mangunwijaya. Cemeti Art House Yogyakarta, 1999.
- Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan. Kanisius, 1999. ISBN 979-672-433-2.
- Sindhunata. Menjadi Generasi Pasca-Indonesia, Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya. Kanisius, 1999. ISBN 979-672-432-4.
- Purwatma. Romo Mangun Imam bagi Kaum Kecil. Kanisius, 2001. ISBN 979-672-959-8.
- Rahmanto, B. Y.B. Mangunwijaya: Karya dan Dunianya. Grasindo, 2001. ISBN 978-979-96526-1-4.
- Yahya, Iip D. dan Shakuntala, I.B. Romo Mangun Sahabat Kaum Duafa. Kanisius, 2005. ISBN 978-979-21-0563-6.
Sumber
Rujukan:
4.2
Struktur
Sosial Masyarakat yang menjadi Latar Belakang Penciptaan Novel Roro Mendut
Karya Y.B. Mangunwijaya
Latar balakang novel
Roro Mendut adalah kerajaan Mataram Islam di era abad ke-17, kehidupan sosisal
budaya masyarakat masih dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Dalam kehidupan
sehari-hari pada era itu, Raja dianggap sebagai dewa dan memiliki kedaulatan
yang tinggi. Pada masa itu, perempuan tidak memiliki hak apapun untuk mengatur
tubuh dan jiwanya, termasuk dalam soal cinta, jodoh, dan pernikahan. Kecantikan
perempuan hanya boleh dinikmati oleh karangan ningrat saja. dalam novel
diceritakan bahwa perempuan hanya berperan dalam wilayah domestik saja, yaitu
sebagai ibu dan istri. Status dan peran perempuan Jawa ditentukan dari ideologi
yang telah lama mengakar dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan berumah
tangga. Ideologi yang menekankan bahwa peran perempuan yang utama adalah di
sekitar rumah tangga, sebagai ibu dan istri, telah berabad-abad
disosialisasikan dan mengejawantah dalam masyarakat Jawa. Ideologi yang
menekankan pada peran reproduksi dan domestik perempuan yang sangat ditekankan
pada perempuan kelas atas di zaman kerajaan-kerajaan Jawa. Perempuan
digambarkan sebagai makhluk yang anggun, halus, rapi tetapi tidak memiliki daya
pikir yang tinggi, dan kurang memiliki kemampuan serta kekuatan spiritual,
sehingga ia dianggap tidak mampu menduduki jabatan-jabatan strategis dalam
pemerintahan dan masyarakat. Akan tetapi, meskipun novel Roro Mendut ini
berlatar belakang kehidupan sosial budaya kerajaan Mataram, permasalahan dalam
novel tersebut berkaitan dengan persoalan ketika pengarang Y.B Mangunwijaya
memproduksi teks novel ini, yaitu pada tahun 1983.
Struktur sosial
masyarakat Indonesia pada waktu penciptaan novel Roro Mendut karya Y.B.
Mangunwijaya (1980-an) adalah peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Perempuan berperan ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan juga membantu
suami mencari nafkah.
Untuk menjadi setara
dengan laki-laki, perempuan harus melakukan peran ganda, yaitu berperan sebagai
ibu dan istri (di wilayah domestik) dan berperan membantu suami mencari nafkah
(di wilayah publik). Peran ganda tersebut masih berlangsung hingga sekarang.
Akan tetapi, peran ganda ini menyebabkan beban perempuan menjadi lebih berat
karena menjalankan jenis kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan rumah
tangga dan kegiatan mencari nafkah pada industri rumah tangga, kegiatan mencari
nafkah pada kesempatan lain, kegiatan sosial dan masyarakat, dan kegiatan
individual. Dengan demikian, banyak peran yang harus dilakukan oleh perempuan
menandakan bahwa perempuan menjalankan beban ganda.
4.3
Pandangan
Dunia Pengarang (Y.B. Mangunwijaya) dalam Penciptaan Novel Roro Mendut
Y.B. Mangunwijaya
adalah pengarang yang beriman kepada Tuhannya. Dalam novel Roro Mendut,
ditampilkan sikap keimanan Roro Mendut kepada Allah Swt., yang ditampilkan Y.B.
Mangunwijaya dalam kutipan berikut.
Terima
kasih Putri Arumardi! Juga berkat sikapmu, Insya Alloh Mendut dapat merdeka.”
(RM, 1983:359)
Dari kutipan di atas
dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai makhluk yang lemah hanya bisa berusaha
semaksimal mungkin. Akan tetapi, hasilnya hanya Allah yang dapat menentukannya.
“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada
Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud:88)
Selanjutnya, diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dari Nabi Saw., bahwa beliau
bersabda. “Barangsiapa ingin menjadi orang yang paling kuat, maka hendaknya ia
bertawakal kepada Allah. Barangsiapa ingin menjadi orang yang paling mulia,
maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah, dan barangsiapa ingin menjadi orang
yang paling kaya, maka hendaknya (berkeyakinan bahwa) apa yang berada di tangan
Allah itu lebih dapat dipercaya daripada apa yang ada di tangannya.” (Laits dan Samarqandi, 1999:251)
Selanjutnya, Y.B.
Mangunwijaya juga menggambarkan kasih sayang Allah Swt. kepada segala
makhluknya. Untuk itu, sebagai manusia hendaknya kita bisa saling memberikan
kasih sayang sesama. Manusia yang beriman pasti akan memiliki sikap kasih
sayang terhadap sesama dan mau memaafkan segala kesalahan orang lain. Namun,
sikap tersebut tidak dimiliki Tumenggung Wiraguna seperti dalam kutipan
berikut.
…
Roro Mendut bersembah, lalu mengusapi luka-luka wajah itu dengan pucuk kainnya,
sambil merintih, “Paduka, apabila Allah Mahakuasa sekaligus maha Al Rachman Al
Rachim, mengapa keagungan ningrat manusia tidak sudi bermurah hati? Mengapa
sekeras itu Yang Mulia bersikap terhadap kami?”
Wiroguno
membentak, “Mengapa?” Huh, justru karena Wiroguno bukan Allah!”
Terkujutlah
Roro Mendut.
“Tumenggung
terjunjung. Sebenarnya akulah, si Mendut, yang harus paduka bunuh.”
Bergumamlah
Wiroguno jengkel, “Membunuh wanita lain caranya.” (RM, 1983:395)
Bunuh diri adalah
perbuatan yang tidak terpuji dan dilarang dalam agama. Akhir dari cerita Roro
Mendut ditulis Y.B. Mangunwijaya dengan terbunuhnya Roro Mendut secara tidak
sengaja oleh Tumenggung Wiraguna. Sedangkan, dalam cerita rakyat Jawa, ada yang
mengungkapkan bahwa Roro Mendut bunuh diri di atas pusara Pronocitro setelah
mengetahui bahwa Pronocitro telah terbunuh oleh Tumenggung Wiraguna.
Serangan kilat
Wiroguno benar-benar menentukan. Pronocitro tergelimpang di muka Roro Mendut
walaupun masih sempat menikam Wiroguno, yang terampil mengelakkan serangan.
Wiroguno mengamuk untuk kedua kalinya dan penuh nafsu menikamkan kerisnya
kearah dada Pronocitro. Tetapi pada saat ini Mendut maju spontan bermaksud membela
kekasihnya. Tanpa sengaja keris Wiroguno menusuk jantung Mendut yang rebah di
atas kekasihnya.
Sebuah gelombang
besar dari laut merenggut kedua kekasih yang bermandikan darah saling merangkul
itu. Terbawalah langsung mereka ke muara. Wiroguno masih dapat bertahan diri di
pasir pantai dan melarikan diri dari kemungkinan gelombang susulan. Gendhuk
Duku, kawan-kawannya dan seluruh prajurit dan rakyat dari jauh menjadi saksi,
bagaimana Mendut dan Ponocitro disambut oleh gelombang-gelombang laut dan dihela
menjauh dari pantai. Di lempar kembali ke muara, dihela lagi menjauh.
Berkali-kali dan masih saja saling berangkulan. Wiroguno tertegun, dan dengan
kerisnya di dahi, tunduk, perlahan-lahan duduk bersila di tanah, dan terharu
memberi hormat. (RM, 1983:396—397)
4.4
Nilai-Nilai
Sosial yang Terkandung dalam Novel Roro Mendut Karya Y.B. Mangunwijaya
1.
Kasih
Sayang
Al-Faqih menuturkan dari Abul
Husain Ahmad bin Hamdan, dari Ahmad bin Al-Harts, dari Qutaibah bin Sa’id
Al-Baghdadi, dari Malik bin Sami, pelayan Abu Bakar, dari Abu Bakar dari Abu
Shalih As-Saman, dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda.
“Suatu saat ada seseorang sedang
berjalan merasa sangat haus lalu ia menemukan sumur, maka iapun turun ke
dalamnya dan minum. Kemudian ia keluar dari sumur dan di situ ada seekor anjing
yang menjilati tanah karena haus, lalu orang itu berkata, 'Anjing ini tentu
kehausan seperti Aku.’ Maka ia turun ke dalam sumur dan memenuhi sepatunya
dengan air, kemudian ia menggigitnya sampai ia naik dan memberikan minuman
kepada anjing. Allah Ta’ala memuji perbuatannya itu, dan mengampuninya. Para
sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah di dalam (menolong) binatang ada
pahala bagi kita?’ Beliau menjawab, ‘Dalam (menolong) setiap yang bernyawa ada
pahalanya.” (Laits dan
Samarqandi, 1999:94)
Al-Hafqih menuturkan dari Muhammad
bin Al-Fadhl, dari Muhammad bin Ja’far dari Ibrahim bin Yusuf, dari An-Nadhr
bin Al-Asy’ats, dari Al-Hasan, bahwa rasulullah Saw. bersabda:
“Tidak akan masuk surga kecuali
orang yang mempunyai rasa kasih sayang. Para sahabat bertanya, ‘Wahai
Rasulullah, kami semua mempunyai rasa kasih sayang.’ Beliau bersabda, ‘(Yang
dimaksud) bukanlah kasih sayang salah seorang di atara kamu terhadap dirinya
sendiri saja, akan tetapi rasa kasih sayang kepada semua manusia dan tidak
mempunyai rasa kasih sayang kepada mereka, kecuali Allah Ta’ala. (Laits dan Samarqandi, 1999:94)
Penuh sayang seperti kepada anaknya sendiri, dayang Ni
Semongko mengucapkan nasihat itu kepada gadis bawuk dari pantai yang
dipercayakan kepadanya oleh Ni Sekar, dayang utama puri Pathi. (RM, 1983:21)
2.
Pandai
Bersyukur
Al-Faqih menuturkan dari Abu Ja’far,
dari Abul Qasim Ahmad bin Ham, dari Muhammad bin Salamah, dari Muhammad bin Abu
Syaibah, dari Abu Usamah, dari Zakariyah bin Abu Zaidah, dari Sa’id bin Abu Burdah,
dari Anas bin Malik r.a., dari Nabi Saw., beliau bersabda.
“Sesungguhnya Allah Ta’ala rida
kepada hamba yang jika ia memakan makanan atau minuman, ia memuji kepada-Nya.”
(Laits dan Samarqandi, 1999:211)
Selanjutnya, diriwayatkan dari Sa’id,
dari Qatadah, bahwa Nabi Saw. bersabda sebagai berikut.
“Ada
empat hal yang barangsiapa diberi empat hal tersebut, maka ia benar-benar
diberi kebaikan dunia dan akhirat, yaitu: lisan yang selalu berzikir, hati yang
selalu bersyukur, badan yang selalu sabar, dan isteri yang beriman serta
salehah.” (Laits dan Samarqandi, 1999:213)
Allah Swt., akan menambah nikmat bagi
hambanya selalu bersyukur. Sedangkan, bagi hambanya ingkar akan mendapatkan
azab yang amat pedih. Manusia harus pandai bersyukur atas segala nikmat dan
karunia dari Allah Swt. kepadanya. Y.B. Mangunwijaya menyampaikan bahwa manusia
harus dapat bersyukur atas segala nikmat yang telah diperolehnya.
Permohonan
yang lebih bersifat madah syukur, atas segala malapetaka peristiwa kehidupan,
namun juga atas segala rahmat kebahagiaan, yang ternyata tanpa diminta,
dihadiahkan begitu saja dari malam-malam sember embun pagi. (RM, 1983:54)
3.
Keberanian
Y.B. Mangunwijaya mengungkapkan keberpihakannya kepada kaum
miskin dan teraniya melalu Novel Roro Mendut. Roro Mendut dengan berani dapat
melakukan perlawanan terhadap Tumenggung Wiroguno.
Penuh sayang seperti kepada anaknya sendiri, dayang Ni
Semongko mengucapkan nasihat itu kepada gadis bawuk dari pantai yang
dipercayakan kepadanya oleh Ni Sekar, dayang utama puri Pathi. “Harimau betina
dia,” kata Ni Sekar kepadanya. “Dari ladang-ladang ilalang timur laut sana.
Harus dijinakkan dulu dia, sebelum
dihadapkan ke gandhok Adipati.” (RM, 1983:21)
Keberanian untuk melawan disampaikan Y.B.
Mangunwijaya melalui perlawanan Roro Mendut ketika pertama kali bertemu dengan
Panglima Besar Mataram Tumenggung Wiroguno.
Lunglai kehabisan nafas serta tenaga akhirnya Mendut terjatuh,
nyaris terinjak oleh kaki-kaki kuda yang lewat. Kura Panglima Tumenggung
Wiroguno sendiri. Saat itulah pertemuan pertama antara panglima termasyhur
Mataram dengan si Mendut. … Baru sesudah Mendut berkecak pinggang, dada
membusung tanpa takut, dan tanpa satu kata pun menyinarkan sorotan matanya yang
penuh amarah dan ungkapan tantangan, tersenyumlah Wiroguno. “Hanyut nyawa siapa
yang berani menjamahku!” begitulah ancaman sorotan mata harimau betina itu,
yang juga langsung menikam mata panglima. (RM, 1983:49)
Selanjutnya, keberanian dalam membela
kebenaran dilukiskan Y.B. Mangunwijaya dalam Novel Roro Mendut yang terlihat
dalam kutipan berikut.
Baru dalam malam-malam rimba sesudah semua
huru-hara itu berlalu Ni Semongko-Wahyuni mulai tahu, bahwa itulah citra
keindahan jiwa keningratan bahari, penakhluk-penakhluk gelombang samudra yang
mendidih, sinar dari prono manusia yang tak gentar membela kebenaran. (51)
“Mendut, anak angin taufan! Arah mana yang kaupilih? Kapal berlayar ganda mana
yang kaucari? Mendut, anak kemerdekaan, apakah mungkin kau akan jinak di dalam
tembok-tembok istana yang menantimu…” (RM, 1983:52)
“Sesudah puas
melihat Mataram ini, saya minta dikembalikan lagi ke rumah ibu saya”
“Siapa bilang aku
calon isteri Wiroguno?” tangkis Mendut sungguh kurang ajar,…. (RM, 1983:121)
4.
Kebebasan
Roro Mendut menyampaikan keinginannya untuk hidup bebas melalu
tarian yang dipertunjukkannya.
Bagaikan elang menyambarlah Mendut
masuk lingkaran pendopo dan menari dengan gelora gesit, membuat bengong para
hadirin-hadirat. Tema tarian Mendut sangat jelas menggambarkan bergantian:
Elang Merdeka dan Kuda Padang Bebas. (RM, 1983:125)
Selanjutnya, Roro Mendut berani menyampaikan
pendiriannya bahwa hati tidak bisa dirampas begitu saja dengan uang dan
kekuasaan. Wiroguno ingkar janji kepadanya.
“Tubuh dirampas
memang. Tetapi hati tidak.” Gendhuk Duku, yang menjatuhkan dirinya dalam
pangkuan puannya, dibelai rambutnya. “Ndhuk, Gendhukku sayang. Sebentar lagi
kau akan menjadi wanita cantik juga. Tidak mudah menjadi wanita cantik, Ndhuk.
Tidak mudah. Apalagi di kalangan istana. Di sini kita menjadi barang hiburan
mereka belaka. Di luar kita lebih mudah menjadi orang.” (RM, 1983:173)
Terima kasih Putri Arumardi! Juga berkat sikapmu, Insya Alloh
Mendut dapat merdeka.” (RM, 1983:359)
Roro Mendut menyadari keadaannya yang tidak
bebas. Keadaan di Pathi maupun Mataram sama saja baginya. Roro Mendut
mengibaratkan dirinya seperti “burung merpati yang hidup dalam sangkar emas.”
Di tengah
kepulan-kepulan asap bekas pertempuran dan huru-hara rampokan serba kacau balau
kaum pengungsi, Mendut melihat segala peristiwa itu dengan hati yang merana
tetapi terjaga dingin. Akhirnya sadarlah ia, bahwa tidak berbedalah sebetulnya,
Pathi atau Mataram. Sama-sama kurungan merpati. (36)
Persahabatan
Persahabatan sejati tidak memandang
statur dan hubungan darah. Manusia bisa menjalin hubungan persahabatan dengan
siapa saja. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering dihadapkan pada keadaan
hubungan sosial yang terjalin dengan baik tanpa adanya ikatan apapun. Hubungan
saudara sedarah (saudara kandung) sering seperti “orang asing”. Sedangkan
“orang asing” sering seperti saudara kandung. Dalam Novel Roro Mendut,
ditampilkan hubungan persahabatan antara Roro Mendut dengan sahabat-sahabatnya,
seperti dalam kutipan berikut.
Gendhuk
Duku ini pantas apabila dulu lahir selaku adik kandut Mendut. Memang aneh
sering, namun mengagumkan, jalan-jalan Hyang Mahabijaksana. Sering seorang
saudara sekandung terasa asing, bukan sedunia bahkan, sedangkan seseorang yang
disebut “orang lain” kok malah terasa bukan “orang lain”, apalagi orang asing.
Seolah justru si “orang lain” itulah terasa selaku saudara sekandung. Apakah
disini kita bersua dengan percikan Wahyu, bahwa kesaudaraan pada manusia tidak
pertama-tama dan terutama berakar pada dasar-dasar daging dan darah, tetapi
pada keselarasan kumandang budi dan cita-rasa yang cocok? Artinya: selaras! Dan
bahwa dengan begitulah dapat dijembatani jurang-jurang daging dan darah?
Sehingga kita dapat menemukan jati diri dan citra bahasa kita dengan lebih
mudah, karena kita lalu tidak terlalu gampang terkulai lemas di jalan buntu,
macet bahkan putus asa? (RM, 1983:53)
“Barangkali
“aku belum siap. Ada seorang sahabat setia yang menderita seperti aku dalam
puri, yang tak mungkin kutinggalkan begitu saja.”
“Dayang-dayangmu?”
“Ya.”
“Semua
mereka akan ikut kita.”
“Masih
satu lagi…, Putri Arumardi, seorang selir muda, sahabat baruku.”
“Dia
boleh ikut, kalau mau.”
“Perlu
saya persiapkan dahulu.”
“Tetapi
ah, … kita tak punya waktu. Bagaimana, sekarang saja?”
“Janga,
jangan Mas Prono.”
“Hormat
Pronocitro mencum kedua belah mata Mendut.
“Belum
pernah aku berjumpa dengan jiwa semulia kau, Adikku… Adikku…. (RM,
1983:322—323)
Hormat
dan kagumlah Pronocitro kepada gadis dalam rangkulannya. Setiawan ia kepada
sahabat. Dan tidak hanya cari selamat. “Rasa hormat adalah awal cinta sejati,”
demikian pesan ayah almarhumnya.” (RM, 1983:324)
“Bahagia jiwaku
dapat mengenal kau, Putri Pantai. Yang aku tak sampai, itu kauperoleh: memilih
kekasih.”…. Lalu tegaklah kembali Mendut dan dalam-dalam penuh kesayangan,
pandangan matanya membelai pandangan mata Arumardi. “Arumardi, mBak-Ayuku! Kau
seayah derita, seibu sepi sunyi denganku. Derita dan dambaan hampa itu pun
adalah malam yang memungkinkan embun kehidupan. Bila aku bahagia, yakinlah, itu
hanya mungkin, berkat keikhlasan yang mengemban kesetiaan dari sekian wanita
merana seperti kau.” (RM, 1983:358)
5.
Tolong
Menolong
Abu Hurairah r.a., meriwayatkan dari
Rasulullah Saw., bahwasanya beliau bersabda: “Barangsiapa menutupi (aib) saudaranya
yang muslim di dunia, maka Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di
akhirat. Barangsiapa melapangkan satu kesulitan saudaranya di antara
kesulitan-kesulitan di dunia, maka Allah akan melapangkan kesulitannya nanti
pada hari kiamta, Allah Ta’ala senantiasa memberi pertolongan kepada hamba-Nya
selama hamba itu memberikan pertolongan kepada saudaranya muslim.” (Laits dan Samarqandi, 1999:99)
Siasat
sudah ia matangkan. Malam ini ialah malam keputusan yang menentukan. Putri
Selir itu pasti akan menolong keberhasilan usaha pelarian nanti. Hanya sang
Arumardi belum tahu, bahwa malam inilah boleh jadi malam terakhir ia dapat
bertemu dengan Mendut. Dua sahabat, namun dua nasib dan dua pengolahan hidup. Putri
Arumardi sudah menyatakan kepada sahabatnya, bahwa ia ingin seperti Kumbokarno.
Tentulah Wiroguno tidak tepat diibaratkan Rahwono, tetapi sikap Kumbokarno,
setia pada tanah air dalam keadaan yang sudah terlanjur, kendati sama sekali
tak disukai karena serba salah, hanya itu yang dapat ia jalani. Dan
selanjutnya, Allah Maha Pengasih akan mengisi kehidupan nanti. Tidak bahagia,
tetapi toh tersenyum membatik bunga-bunga kesetiaan yang bermakna. Mendut
sajalah, yang mewayangkan Wibisono berwujud Putri. Akan ia bantu sepenuhnya
dia, melawan nasih yang tak disukai, untuk menangani mengolah sendiri hari
depan. Arumardi minta diri. Dikecupnyalah Mendut sangat mesra, lalu berdiri dan
pergi masuk ke gandhok-nya; diantar oleh Mendut. (RM, 1983:359)
6.
Tugas
dan Tanggung Jawab Suami Istri
Al-Faqih menuturkan dari Abdul Wahhab bin Muhammad, dari
Muhammad bin Ali, dari Muhammad bin Shahih, dari Abdurrahman Ad-Dauri, dan
Abdul Aziz bin Al-Khaththab, dari Hibban bin Ali Al-Anzi, dari Shahih bin
Hibban, dari Abdullah bin Huraidah, dari ayahnya, ia berkata:
“Ada seseorang Baduwi dating kepada Nabi Saw. lalu berkata,
“Sesungguhnya aku telah masuk Islam, maka tunjukkanlah kepadaku sesuatu yang
dapat menambah keyakinanku.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang kamu inginkan?” Ia
berkata, ‘Panggillah pohon itu agar datang kepadamu.’ Beliau bersabda,
‘Pergilah kamu dan panggillah pohon itu.” Ia langsung pergi dan berkata (kepada
pohon itu), “Penuhilah panggilan Rasulullah itu.” Pohon itu lalu miring ke satu
sisi lantar akar-akarnya terangkat, dan miring lagi ke sisi yang lain, lalu maju
dan mundur sehingga akar-akarnya terangkat, kemudian berjalan dengan membawa
akar-akar dan dahan-dahannya hingga sampai kepada Nabi Saw. dan mengucapkan
salam kepada beliau. Orang Baduwi itu berkata, “Cukup, cukup.” Lalu beliau
memerintahkan kepada pohon itu untuk kembali ke tempatnya lalu akar-akarnya
menancap lagi ke tempat semula dan tegak kembali. Orang Baduwi itu berkata,
‘Wahai Rasulullah, izinkanlah aku mencium kepada dan kedua kakimu.’ Beliau pun
mengizinkannya. Ia berkata lagi, ‘Bolehkah saya bersujud kepadamu?’ Beliau
bersabda, ‘Jangan bersujud kepadaku dan seseorang tidak boleh bersujud kepada
salah seorang makhluk. Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk
bersujud kepada orang lain, tentu aku akan menyuruh isteri bersujud kepada
suaminya untuk menunjukkan besarnya hak suami.” (Laits dan Samarqandi,
1999:348)
Selanjutnya, Atha’
meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata sebagai berikut.
“Ada seorang perempuan datang kepada Nabi
Saw. dan berkata, ‘Ya Rasulullah, apakah hak suami atas isterinya (kewajiban
isteri atas suaminya)?” Beliau bersabda, ‘Isteri tidak boleh menolak (untuk
bersetubuh) walaupun ia sedang berada di atas kendaraan, ia tidak boleh
berpuasa satu hari saja tanpa izin suaminya kecuali puasa Ramadhan. Apabila ia
berpuasa (tanpa izin suaminya), maka pahalanya itu untuk suaminya sedangkan
dosanya untuk isterinya. Ia tidak boleh keluar tanpa izin suaminya maka
malaikat rahmat dan malaikan siksa mengutuknya sampai ia kembali (ke
rumahnya).” (Laits dan Samarqandi, 1999:349)
Suami mempunyai hak dan kewajiban terhadap
isterinya. Demikian juga isteri memiliki hak dan kewajiban terhadap isterinya.
Dari Qatadah bahwa salah satu khotbah Rasulullah Saw. di Mina adalah sebagai
berikut.
“Wahai manusia,
`sesungguhnya kamu memiliki hak atas isteri-isterimu dan isteri-isterimu juga
mempunyai ha katas kamu. Di antara hakmu atas mereka adalah bahwa mereka harus
memelihara tempat tidurmu dan tidak mengizinkan seseorang yang tidak kamu sukai
(masuk ke) dalam rumahmu, serta mereka tidak boleh melakukan kekejian yang
nyata. Apabila mereka melakukan itu, maka Allah memperbolehkan kamu untuk
memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Dan di antara hak mereka atas
kamu adalah pakaian dan nafkah yang layak.” (Laits dan Samarqandi, 1999:350)
Selanjutnya, diriwayatkan dari Anas bin
Malik r.a., dari Nabi Saw., beliau bersabda sebagai berikut.
“Sesungguhnya
apabila isteri mengerjakan salat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan,
memelihara kemaluannya, dan patuh kepada suaminya, maka ia boleh masuk dari
pintu surge yang mana saja yang ia kehendaki.” (Laits dan Samarqandi, 1999:351)
Nyai Ajeng. Ketika Mendut dapat membayar
pajak sepuluh real, ia pun merasakan bahwa Mendut adalah pahlawan juga. Namun,
sebagai seorang isteri ia pun memiliki kewajiban untuk tetap membela suaminya.
Harus diakui, Roro
Mendut menang gemilang. Kemenangan Roro Mendut pada hakekatnya kemenangan kaum
wanita juga. Hal itu sangat terasa oleh Nyai Ajeng, yang selain wanita cantik,
bernalar cerdas juga. Ada dalam diri seorang istri yang mendorongnya membela suami.
Akan tetapi, dalam banyak segi, setelah kedudukan dan penghargaan selaku isteri
atau ibu tercapai, maka segi wanitalah yang akan lebih berbicara. Bagaimanapun,
Roro Mendut toh semacam pahlawan juga. (RM, 1983:295)
Sendi
perasaan Nyai Ajeng terhadap Mendut bukan kebencian atau iri hati. Barangkali
itu juga ikut-ikut, sebab mana ada wanita bebas rasa cemburu. Tetapi dasar
sikap Nyai Ajeng pada hakekatnya hanyalah ingin melindungi suampi pujaannya
melawan kemungkinan-kemungkinan yang dapat merendahkan derajad maupun nama sang
Wiroguno. Oleh karena itu terhadap Mendut perasaan Nyai Ajeng semakin dicampuri
kagum serta iba hati. (RM, 1983:225)
Berdasarkan kutipan di
atas, dapat dijelaskan bahwa Nyai Ajeng berusaha melindungi suaminya dari
kemungkinan-kemungkinan yang dapat merendahkan derajad maupun nama baik
Tumenggung Wiroguno.
BAB
V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Novel Roro Mendut karya
Y.B. Mangunwijaya ini menceritakan mengenai penindasan yang dialami oleh
perempuan. Penindasan dan pemberontakan ini merepresentasikan kondisi yang
dialami oleh perempuan Indonesia pada awal terbitnya novel ini 1980-an dan
kondisi saat ini masih berpegang kepada sistem patriarki, dimana perempuan
dibawah laki-laki.
Roro Mendut berasal
dari rakyat jelata yang memiliki karakter yang kuat, tangguh, dan cerdas.
Kecerdasan tokoh dalam mengamati dan merasakan keadaan lingkungan sekitarnya,
menyadarkannya dalam kondisi tertindas. Kesadaran inilah yang mendorong mereka
untuk melakukan pemberontakan terhadap budaya priyayi Jawa yang mengelilingi
mereka yang sangat kental dengan sistem patriarki. Pemberontakan ini dilakukan
untuk mengubah nasib mereka dan mereka berani untuk melakukan perbuahan dengan
segala resikonya.
Meskipun novel Roro
Mendut karya Y.B. Mangunwijaya ini berlatar kehidupan sosial budaya kerajaan
Mataram, permasalahan dalam novel tersebut berkaitan dengan persoalan ketika
pengarang memproduksi teks novel ini, yaitu pada tahun 1983. Pada masa itu,
cerita novel merepresentasikan kondisi perempuan Indonesia di tahun 1980-an,
yaitu peran ganda perempuan dalam kehidupan berumah tangga.
Untuk menjadi setara
dengan laki-laki, perempuan harus melakukan peran ganda, yaitu berperan sebagai
ibu dan istri (di wilayah domestik) dan berperan membantu suami mencari nafkah
(di wilayah publik). Peran ganda tersebut masih berlangsung hingga sekarang.
Akan tetapi, peran ganda ini menyebabkan beban perempuan menjadi lebih berat
karena menjalankan jenis kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan rumah
tangga dan kegiatan mencari nafkah pada industri rumah tangga, kegiatan mencari
nafkah pada kesempatan lain, kegiatan sosial dan masyarakat, dan kegiatan
individual. Dengan demikian, banyak peran yang harus dilakukan oleh perempuan
menandakan bahwa perempuan menjalankan beban ganda.
Novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya menganalogikan
bagaimana dominasi laki-laki terhadap perempuan dan pandangan-pandangan
masyarakat tentang wanita. Dari sana kita dapat belajar bahwa meskipun dalam
situasi yang terjepit dan sulit, perjuangan kaum wanita dalam mencari
kebebasannya dari dominasi laki-laki harus terus diperjuangkan. Kemenangan dari
perjuangan itu bukanlah dalam bentuk fisik, namun dalam keberanian untuk
mendobrak dominasi itu sendiri, dan tidak mengikuti hirarki nilai yang diciptakan
laki-laki dalam masyarakat. Perlawanan Roro Mendut adalah simbol perlawanan
perempuan menolak tunduk pada dominasi laki-laki
Selanjutnya, nilai-nilai sosial yang
terkandung dalam Novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya diantaranya adalah
sebagai berikut: 1. Kasih Sayang, 2. Pandai Bersyukur, 3.
Keberanian, 4. Kebebasan, 5. Persahabatan, 6. Tolong-menolong, dan 7. Tugas dan
Tanggung Jawab Suami Isteri
5.2.1
Implikasi Akademik
Penelitian ini
memberikan kontribusi mengenai kajian sastra strukturalisme genetik.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa karya sastra yang
merupakan bagian dari media komunikasi massa bisa dijadikan sarana komunikasi
yang baik dalam menyampaikan pesannya kepada pembaca. Dalam penelitian ini,
pengarang menggambarkan perjuangan dan pemberontakan yang dilakukan oleh para
tokoh.
5.2.2
Implikasi Praktis
Wacana dalam sastra
merupakan media komunikasi yang baik sebagai sarana menyadarkan posisi
perempuan dalam masyarakat. Walaupun novel bersifat didominasi untuk fungsi
menghibur, para pembaca dan perempuan khususnya, jangan begitu saja menelan dan
memasukan wacana yang ada di dalam tulisan tersebut. Semoga penelitian ini bisa
bermanfaat bagi para pembaca dan sebagai sarana penyadaran terhadap sistem
patriarki sekaligus melakukan pemberdayaan kepada perempuan.
5.3
Saran
Secara akademis,
penelitian mengenai karya sastra dan analisis struturalisme genetik adalah
sesuatu yang menarik untuk diteliti. Semoga pada penelitian selanjutnya, akan
ada penelitian karya-karya sastra lainnya disesuaikan dengan perkembangan
zaman.
Secara praktis, penulis
berharap akan banyak lahir pengarang-pengarang sastra yang mampu menjabarkan
kondisi sosial budaya berdasarkan sejarah yang memang berusaha untuk memberikan
penyadaran yang sesungguhnya.
Secara sosial, novel
ini diharapkan mampu menjadi media komunikasi penyadaran bagi masyarakat, bukan
hanya di khususkan bagi perempuan tetapi juga bagi laki-laki. Novel ini
diharapkan menjadi sarana untuk mampu berpikir kritis. Selanjutnya, nilai-nilai
sosial yang terkandung dalam novel ini dapat direalisasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
Daftar
Pustaka Tambahan
Laits,
Al-Faqih Abul dan As-Samarqandi. 1999. Tanbihul Ghafilin: Nasehat bagi yang
Lalai. Jakarta: Pustaka Amani.
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/2543-suri-tauladan-bangsa diunduh 20 Mei 2014
http://alymasyhar.wordpress.com/2008/11/03/konsep-pendidikan-yb-mangunwijaya-pr/ diunduh 20 Mei 2014