Minggu, 29 Juni 2014

RORO MENDUT



BAB IV
ANALISIS DATA

4.1 Unsur Intrinsik Novel Roro Mendut Karya Y.B. Mangunwijaya
4.1.1        Tema
Tema adalah  ide, makna cerita  gagasan  sentral atau dasar cerita , pandangan hidup pengarang yang melatar belakangi penciptaan karya sastra. Tema adalah persoalan utama dalam karya sastra. Tema didukung oleh pelukisan latar atau tersirat dalam lakonn-lakon tokohnya. Tema novel Roro Mendut Karya Y.B. Mangunwijawa mengenai perjuangan dan pemberontakan perempuan melawan sistem patriarki dalam era kerajaan Mataram, masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma dan anaknya Raja Mangkurat I. Perjuangan dan pemberontakan itu ditujukan kepada budaya patriarki yang mengekang para perempuan Jawa saat itu untuk bersikap dan tunduk kepada titah laki-laki, terutama para perempuan ningrat yang tidak bisa memilih sikap dan memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu yang mereka sukai, begitu pula dalam soal percintaan.
Roro Mendut, gadis boyongan dari wilayah pantai utara Telukcikal yang akan dijadikan selir dari Panglima Tinggi Mataram, Tumenggung Wiraguna. Roro Mendut tidak seperti perempuan-perempuan ningrat lainnya. Roro Mendut berani untuk menentang keinginan Tumenggung Wiraguna yang sangat menginginkannya sebagai selir. Walaupun penolakan itu membawa nasibnya dan kekasihnya Pronocitro, mati tertusuk keris Tumenggung Wiraguna.
Mendut disingkirkan kasar oleh Wiroguno yang lalu berdiri menghadapi lawannya. Ancang-ancang tegang dan lama sekali. Roro Mendut tidak tega melihat. Tetapi justru pada saat Wiroguno secepat kilat menyerang, Roro Mendut menempatkan diri di muka kekasihnya. Untung Wiroguno tepat saat mengurungkan tikaman mautnya.
“Mendut,” kata Pronocitro lembut, “biarkan Pronocitro membuktikan cintanya padamu.”
Berlinang-linang Mendut mengucapkan spontanitas wanita yang bernaluri memelihara dan menjaga kehidupan.
“Tetapi, Mas, cinta hanya bagi manusia yang hidup.” (RM, 1983:395—396).

“Saat ini, Adikku Mendut, Pronocitro tidak punya pilihan lain. Menyerah berarti mati. Melawan artinya masih punya harapan hidup. Itulah, Adikku, salah satu cara juga membela kehidupan.”
Teriak Wiroguno, “Sudah selesai membagikan warisan?”
Pronocitro tak peduli masih berpesan kepada Mendut, “Mendut, bagaimanapun akhirnya, kita sudah menang.”
Mendut masih memegang kaki Pronocitro, tetapi sangat melukailah ejekan Tumenggung, “Wiroguno masih sabar. Teruskanlah mesra-mesraanmu!”
Mendengar itu Mendut berdiri tegak, dan mundur sedikit. Seluruh sikapnya sekarang adalah siap tempur di samping kekasihnya. Silakan. Wiroguno tertawa.
Serangan kilat Wiroguno benar-benar menentukan. Pronocitro tergelimpang di muka Roro Mendut walaupun masih sempat menikam Wiroguno, yang terampil mengelakkan serangan. Wiroguno mengamuk untuk kedua kalinya dan penuh nafsu menikamkan kerisnya kearah dada Pronocitro. Tetapi pada saat ini Mendut maju spontan bermaksud membela kekasihnya. Tanpa sengaja keris Wiroguno menusuk jantung Mendut yang rebah di atas kekasihnya.
Sebuah gelombang besar dari laut merenggut kedua kekasih yang bermandikan darah saling merangkul itu. Terbawalah langsung mereka ke muara. Wiroguno masih dapat bertahan diri di pasir pantai dan melarikan diri dari kemungkinan gelombang susulan. Gendhuk Duku, kawan-kawannya dan seluruh prajurit dan rakyat dari jauh menjadi saksi, bagaimana Mendut dan Ponocitro disambut oleh gelombang-gelombang laut dan dihela menjauh dari pantai. Di lempar kembali ke muara, dihela lagi menjauh. Berkali-kali dan masih saja saling berangkulan. Wiroguno tertegun, dan dengan kerisnya di dahi, tunduk, perlahan-lahan duduk bersila di tanah, dan terharu memberi hormat.
Gendhuk Duku dari jauh melihat dua jenazah itu ditelan oleh gelombang-gelombang laut. Ia memacu kudanya bagaikan kilat mendekati muara. Tertegun ia di muka tembok gelombang-gelombang, bersembah hormat, penuh air mata. Tiba-tiba gadis itu berpaling, memacu kudanya dan berlari kencang sekencang-kencangnya, seolah mau menyelip si Lawan laut. Dua gatra orang, Ntir-Untir dan Bolu bergabung di belakangnya. Mereka menjauh… menjauh…. (RM, 1983:396—397)

4.1.2        Amanat
Novel ini menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa kita boleh berkomitmen, tapi jangan sampai termakan oleh komitmen itu sendiri. Seperti cinta yang mengikat, cinta pula yang memisahkan. Namun, cinta telah menyatukan mereka dalam satu nafas, kehidupan dan kematian. Sedangkan, kekuasaan memang selalu menyiratkan kekuataan senjata dan darah, lalu melupakan nilai-nilai kemanusiaan tentang cinta dan kasih sayang.
Tinggal tiga pelaku utama, di bawah enam mata. Pronocitro dan Mendut memandang ke laut. Muara Sungai Opak di hadapan mereka tanpa kata mengingatkan, bahwa saat penentuan telah datang. Kemenangan atau kekalahan bukan pertanyaan pokok, melainkan apakah ada kesanggupan untuk mempertaruhkan segala-gala demi suatu keyakinan, bagi suatu cinta. Wiroguno yang membelakangi laut sebenarnya telah keliru kedudukannya; ia berdiri sendirian, tanpa Nyai Ajeng, Putri Arimbi, Sarinarendro, dan lain-lain. Sedangkan Pronocitro didampingi Mendut dan Mendut disertai Pronocitro. Wiroguno membuka adegan penentu.
”Tidak ada air yang sejati ingin merangkak kembali ke lereng-lereng gunung. Di sinilah segala-galanya harus kita putuskan. Pronocitro, kau sanggup?”
”Tidak sebagai hamba terhadap tuannya, tetapi Pronocitro lawan Wiroguno, Kanjeng.”
Wiroguno terkejut, tampak ia naik pitam, tetapi reda kembali, menyerah kepada keadaan. Pandangannya memanah Mendut, lalu ke Pronocitro.
”Di hadapan maut memang tidak ada tuan tidak ada hamba. (kepada Mendut) Mendut! Kau sanggup kehilangan kekasihmu?”
”Kekasih tidak pernah hilang, Kanjeng Tumenggung,” jawab Mendut. Gesit menangkis serangan yang menghina itu. Bingung hati Wiroguno dari dalamnya.
Tegaslah, siapa yang kau pilih: Wiroguno atau Pronocitro?
Langsung dijawab, ”Pronocitro!” Tanpa kehilangan persepuluh detik pun.
Wiroguno menghembuskan nafas panjang. Pertanyaan yang salah. Jawaban seharusnya sudah dapat diduga. Melukai. Harus jelas sekarang kedudukan soal.
”Jangan punya penilaian keliru tentang Wiroguno. Wiroguno Panglima Besar Mataram, dan Panglima Besar Mataram adalah Wiroguno. Tidak dapat dipisahkan. Saat ini bukan saat berebutan perempuan. Memang benar rambut-rambut rabaan wanitamu, Roro Mendut. Soalku sekarang adalah soal kewibawaan. Boleh kausebut: soal senjata. Itu tugas panglima, dan Wiroguno tidak akan menghianati tugas prajurit..., seperti kau pun, Pronocitro dan Mendut, kulihat tidak menghianati cinta kalian.” (RM, 1983:393—394)

Serangan kilat Wiroguno benar-benar menentukan. Pronocitro tergelimpang di muka Roro Mendut walaupun masih sempat menikam Wiroguno, yang terampil mengelakkan serangan. Wiroguno mengamuk untuk kedua kalinya dan penuh nafsu menikamkan kerisnya kearah dada Pronocitro. Tetapi pada saat ini Mendut maju spontan bermaksud membela kekasihnya. Tanpa sengaja keris Wiroguno menusuk jantung Mendut yang rebah di atas kekasihnya.
Sebuah gelombang besar dari laut merenggut kedua kekasih yang bermandikan darah saling merangkul itu. Terbawalah langsung mereka ke muara. Wiroguno masih dapat bertahan diri di pasir pantai dan melarikan diri dari kemungkinan gelombang susulan. Gendhuk Duku, kawan-kawannya dan seluruh prajurit dan rakyat dari jauh menjadi saksi, bagaimana Mendut dan Ponocitro disambut oleh gelombang-gelombang laut dan dihela menjauh dari pantai. Di lempar kembali ke muara, dihela lagi menjauh. Berkali-kali dan masih saja saling berangkulan. Wiroguno tertegun, dan dengan kerisnya di dahi, tunduk, perlahan-lahan duduk bersila di tanah, dan terharu memberi hormat. (RM, 1983:396—397)

Roro Mendut melakukan perjuangan melawan dominasi kekuasaan demi kebebasan. Laki-laki adalah simbol kekuasaan, perempuan adalah simbol kaum tertindas/menderita. Perjuangan Roro Mendut dalam mencari kebebasannya adalah perjuangan melawan dominasi kekuasaan laki-laki, Wiroguno. Budaya patriarki sudah tertanam lama di dalam masyarakat dan sudah membentuk perilaku maupun hirarki nilai masyarakat. Dalam masyarakat ini, dominasi laki-laki terhadap perempuan sudah dianggap hal yang wajar dan semestinya. Perempuan melayani laki-laki adalah hala yang layak dan sepantasnya. Dengan kata lain, penindasa pada perempuan adalah hal yang sudah semestinya. Perlawanan perempuan terhadap dominasi laki-laki adalah hal yang tabu dan tidak ada dalam hirarki nilai masyarakat patriarkal. Perlawanan Roro Mendut terhadap Wiroguno adalah perlawanan terhadap nilai-nilai dalam masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, sebenarnya, Roro Mendut yang terbiasa hidup di pantai, bergelut dengan ombak dan kebebasan lautan lepas mempunyai keyakinan akan nilai secara lain. Baginya kebebasan perempuan adalah hak yang harus ia peroleh. Dominasi laki-laki terhadap perempuan harus dilawan. Perlawanan ini harus selalu disertai dengan keberanian dan kesetiaan. Meskipun akhirnya Roro Mendut mati, namun ia tetap menang dalam melakukan perlawanan terhadap dominasi laki-laki. Selama hidupnya, Roro Mendut tidak pernah mengalah pada dominasi laki-laki, Wiroguno. Ia memperjuangkan kebebasan dan pilihannya sendiri.

4.1.3        Latar
Latar atau setting merupakan informasi yang menggiring keberadaan tokoh-tokoh dalam cerita berdasarkan waktu ataupun tempat tokoh tersebut diceritakan. Latar dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita. Keberadaan elemen latar pada hakikatnya tidaklah hanya sekedar menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan keterkaitan dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis.
4.1.3.1  Latar Waktu
Novel Roro Mendut mengambil latar Kerajaan Mataram pada abad ke-17. Saat Sultan Agung berkuasa dan berjaya menaklukkan kerajaan-kerajaan di wilayah Indonesia, saat-saat terakhir hingga mangkatnya Sultan Agung beriringan dengan masa remaja Putra Mahkota.

4.1.3.2  Latar Tempat
Latar tempat pada Novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya adalah sebagai berikut.
1.    Pantai Utara Telukcikal
Pantai Utara Terlukcikal adalah tempat kelahiran dan kampong halaman Roro Mendut. Di Telukcikal ia sering dipanggil si-Duyung.
Ombak-ombak berbuih di pantai kampong nelayan Telukcikal pagi itu, seperti pagi itu, seperti pagi-pagi yang lain, tak jera menderukan gelora kemerdekaan dan himne warta keabadian, tak jera menderukan gelora kemerdekaan dan himne warta keabadian. (RM, 1983:5)
… Si Duyung, begitu panggilan sayang orang-orang kampong untuk si darah itu. (RM, 1983:6)

2.    Puri Pati
Adipati Pragolo memberian pesan secara pribadi kepada Ni Semongko untuk merawat Roro Mendut dengan baik.
… “Dan memanglah, berulang-ulang sang Adipati berpesan pribadi kepada Ni Semongko.
“Asuhlah Mendut-ku dengan tepat, Ni Semongko. Saat ini tuanmu masih sedang bergulat menghadapi Istana Mataram. Tuanmu Pragolo tidak ingin memangku gadis ini, sebelum persoalanku dengan si Denmas Rangsang dari Karta itu selesai memuaskan. Tetapi yakinlah, Ni Semongko, tugasku di medan laga. Tugasmu mendampingi gadis satu ini. Sebab Adipati Pragolo ingin berperang dengan jiwa yang prihatin, tidak dengan pinggang yang puas. Asuhlah putri duyung dari Telukcikal ini, dan nanti, selaku kidung syukur atas kejayaan medan laga akan kunikmati Roro Mendut selaku mahkota dari sikap dan perjuanganku; demi wilayah Pathi yang saya junjung sebagai wilayah yang merdeka.” (RM, 1983:27)

3.    Kuthanegara
Kuthanegara adalah ibu kota Kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung.
Ibu kota Mataram, kuthonegoro Karta hayuningrat. Berjejal-jejal rakyat mengelu-elu barisan-barisan Mataram masuk pintu gerbang utama ibu kota. (RM, 1983:66)

4.    Istana Kerajaan Sultan Agung
Latar tempat istana sering diceritakan ketika ada para petinggi-petinggi sedang menghadap Raja. Wiraguna dating menghadap Raja Sultan Agung dengan disambut secara resmi.
“Bumi Hayu mahargya sang Wireng Yuda.
Kawula Mataram sokur konjuk Gusti.
Retuning bumi wus birat.
Wimbuh kuncoro gung Nagri.
Gya wawarta Ki Tumenggungung rawuh sampun.
Ngasta prantasan sirah dhuwung Durpati.
Meriah agung suasana Bangsal Kencoro istana Ingkang Sinuhun Susuhunan Hanyoko-Kusumo, Senopati Ingalogo Mataram Abdurrahman Sayidin Panotogomo. Meriah agung memang alunan-alunan gendhing Ketawang Ibu Pratiwi yang teriring oleh gamelan Kiai Gala Ganjur yang termashur, dilagukan oleh ratusan pesinden yang mengombakkan suasana kahyangan widadari mengelu-elu sang Wireng Yuda, sang pemenang dalam perang. Bersama dengan sang priyayi ningrat seluruh kerajaan. (RM, 1983:77—78)

5.    Puri Wiragunan
Puri Wiragunan adalah tempat Roro Mendut tinggal dan melaksanakan semua hukuman yang dia dapatkan dari Wiraguna. Disana juga tinggal beberapa selir lainnya dan para dayang-dayang yang bertugas membantu Wiraguna dan para putri-putri ningrat.
Bagi Nyai Ajeng soalnya sudah jelas. Perawan pantai itu selekas mungkin harus ditolak dari puri Wirogunan. Perangainya tidak sesuai dengan derajat martabat ningrat lingkungan puri panglima besar. (RM, 1983: 118)

6.    Pasar
Pasar adalah tempar Roro Mendut dibantu Ni Semangka, Gendhuk Duku, dan dayang-dayang yang lainnya berjualan rokok lintingan di pasar. Roro Mendut hanya boleh berjualan sambal memakai tirai yang membatasi dirinya dan para pembeli.
Dalam keragu-raguan baiklah orang menunggu kepastian dengan berbuat amal dan kebajikan. Bukan! Suaminya bukan algojo. Nyai Ajeng pun bukan. Maka jadilah, di warung pasar, dekat persabungan ayam, Roro Mendut dan dayang-dayangnya memperoleh tempat bagus untuk berjualan. Sesuai dengan kehendak Tumenggung Wiroguno, mereka berjualan di belakang tirai yang oleh Mendut dipilih berwarna merah jambu elok. Tirai dipasang tegap mirip kelir wayang kulit, dan keseluruhannya terhias serba seni.(RM, 1983:225)

Hahahaa! Ya, ya, ya, orang-orang di pasar semakin banyak yang antri. Maka seperti ular naga rimba. Mentaoklah panjang urut-urutan. Perempuan-perempuan pasar geli campur jengkel melihat sekian banyak kaum lelaki begitu gandrung kepada satu perempuan. Sulitlah di sekitar pasar lalu linats kendaraan gerobak, cikar diatur. (RM, 1983:226)

7.    Muara Sungai Oya-Opak
Muara Sungai Oya-Opak dekat pantai Selatan adalah tempat kematian Roro Mendut dan Pronocitro dibunuh oleh Tumenggung Wiraguna.
Ditolong oleh keterangan-keterangan dua pejabat desa pantai tadi, pelacakan tiba-tiba sudah menjadi jauh lebih mudah. Pada hari itu juga pasukan-pasukan Wiroguno berhasil memergoki Pronocitro dan kekasihnya di rakit dekat muara Sungai Oya-Opak. Pronocitro dan Mendut masih mencoba membantu tukang rakitnya dengan bamboo-bambu, agar lebih cepatlah rakit menyeberangkan mereka. Tetapi di tepi sungai seberang muncul pula pasukan-pasukan Wiroguno. Kedua orang muda itu terkepung. (RM, 1983:389)

4.1.4 Plot
Plot merupakan kekhasan dasariah suatu narasi (narrative; propter hoc). Menurut tipenya, novel “Roro Mendut” merupakan novel dengan tipe unified plot, dengan Roro Mendut sebagai tokoh utamanya. Langkah-langkah memahami plot dalam novel “Roro Mendut”:
1. Eksposisi
Eksposisi merupakan sejumlah informasi awal yang mutlak diperlukan agar narasi dapat dipahami (setting, tokoh, pemahaman kunci)
Anak dari adik bungsu si nelayan tua, itulah dia. Kerap, bahkan terlalu sering untuk ibunya, ia datang dari desanya ke Telukcikal, hanya untuk ikut paman-tuanya naik perahu dan didekap dipermainkan ombak-ombak yang nakal. (RM, 1983:6)
Mendut nama Den Roro. Artinya: serba lunak menggelombang, dasar yang kokoh. (RM, 1983:21)
Gendhuk Duku… ibunya berasal dari Pulau Bima. Sejak kecil si Gendhuk Duku boleh dikatakan disusui, ditimang dan dibesarkan di atas kuda. (RM, 1983:24)
Adipati Pragola tewas ditangan Wiroguno (RM, 1983:35). Ni Semongko dan Gendhuk Duku mengiringi Roro Mendut yang bersama para putri bekas istana Pathi diboyong di atas tandu-tandu ataupun kereta-kereta kuda ke ibu kota negara yang tak terbantah memang sedang jaya-wijaya di atas kerajaan-kerajaan seluruh Jawadwipa. (RM, 1983:36)
Wiroguno mempunyai banyak selir yang cantik; dan garwo-padminya, Nyai Ajeng tidak hanya bergelar Bendoro Ajeng atau Ayu, akan tetapi benar-benar ayu pula, wanita paling pandai di antara sekian istrinya. Barangkali Sariranendra lebih mendalam jiwanya, memang dia cantik anak seorang begawan yang pernah dijumpai Wiroguno dalam suatu perjalanan peperangannya ke Madiun…. Arumardi adalah seorang selir juga; yang berasal dari suatu desa di lereng Gunung Lawu, ternyata wanita muda yang cerdas, jujur lugu terutama. …. Bahkan si Arimbipun itu seorang wanita yang pernah ia peroleh sebagai hadiah dari seorang raja di sekitar Danau-besar Toba di pulau seberang,…berbadan besar kekar seperti raksasa perempuan istri Werkudoro, yang tingkah ulahnya masih serba persegi tanpa banyak basa-basi. (RM, 1983:82)

2. Momen yang menggugah
Momen yang menggugah terjadi pada saat konflik atau problem muncul untuk pertama kalinya dan membangkitkan minat si pembaca. Dalam novel “Roro Mendut” momen yang menggugah terjadi ketika Wiroguno yang menyerbu Kadipaten Pathi bertemu dengan Roro Mendut. Ketika itu Roro Mendut sedang berusaha untuk melarikan diri.
… Lunglai kehabisan nafas serta tenaga akhirnya Mendut terjatuh, nyaris terinjak oleh kaki-kaki kuda yang lewat. Kura Panglima Tumenggung Wiroguno sendiri. Saat itulah pertemuan pertama antara panglima termasyhur Mataram dengan si Mendut. Kelas tidak cantik molek ketika itu keadaan sang dara lemas. Tumenggung Wiroguno pun ketika itu hanya menyangka dia perempuan kampung biasa yang sedang dikejar-kejar salah seorang prajuritnya yang berangasan. Tetapi ketika sida-sida istana itu dengan segala permohonan maaf melapor, bahwa yang tidak lengkap terbungkus kain serba robek itu adalah salah seorang selir musuhnya, maka kepada gadis yang serba bercitra liar itu beliau semakin menaruh perhatian. Baru sesudah Mendut berkecak pinggang, dada membusung tanpa takut, dan tanpa satu kata pun menyinarkan sorotan matanya yang penuh amarah dan ungkapan tantangan, tersenyumlah Wiroguno. “Hanyut nyawa siapa yang berani menjamahku!” begitulah ancaman sorotan mata harimau betina itu, yang juga langsung menikam mata panglima. (RM, 1983:49)

3. Komplikasi
Komplikasi merupakan saat berbagai usaha ditampilkan untuk menyelesaikan problem atau konflik yang ada. Dalam novel “Roro Mendut” ada beberapa komplikasi yang ditampilkan:



Komplikasi 1: Janji Wiroguno kepada Mendut tidak ditepati
Ketika Roro Mendut sudah dibawa ke puri Wirogunan, ia diminta menari oleh Wiroguno.
“Apa tidak ada tari gaya Utara? Wiroguno baru saja berbakti di Pathi, bukan?” Sebelum Nyai Ajeng menemukan jawaban, karena sekonyong-konyong pecah selaput nalarnya dan paham, suaminya sudah mengambil jalan pintas, “Tanyakan, apa gadis pantai itu dapat menari.”(RM, 1983:118).
                            
Roro Mendut mau menari asalkan syaratnya dipenuhi, yaitu
“Sesudah puas melihat Mataram ini, saya minta dikembalikan lagi ke rumah ibu saya.” (RM, 1983:121)

Wiroguno tidak memedulikannya dan tetap meminta Mendut menari.
“Kurang ajar! Kurang ajar anak itu….. Pintar juga mengajukan syarat. Sudah, siapkan anak itu. Wiroguno ingin melihat kemahiran orang-orang pantai menari.” (RM, 1983:122)  
Pada malam Jumat Kliwon, ketika Nyai Ajeng sedang menjamasi pusaka, Mendut dipanggil masuk ke tempat pusaka. Nyai Ajeng hendak meluluhkan hati Mendut, namun Mendut justru berpikir ini saatnya menagih janji. Namun janji itu tidak dipenuhi:
“Untuk memohon ingat, bahwa pada hamba telah diberikan janji, boleh pulang ke rumah ayah-ibu hamba.” (RM, 1983:169)  
Namun Nyai Ajeng menolaknya dengan berkata, “Kau tidak berhak memerintah Panglima Besar Mataram.” “Yang berjanji kau boleh pulang itu Wiroguno, tahu! Tetapi yang menghendaki kau menjadi pendampingnya ialah penglima perang yang jaya atas kadipaten Pathi. Dan jangan khilaf: Ingkang Sinuhun Susuhunan pribadi!” (RM, 1983:170)

Komplikasi 2: Roro Mendut harus membayar pajak tiga real sehari
Untuk meyakinkan kerajaan-kerajaan di Pantai Utara tentang keperkasaan Mataram, Susuhunan Hanyokrokusuma mengadakan Sodoran-Setonan (latihan perang pada hari Sabtu) yang dipimpin Panglima Wiroguno. Bagi Wiroguno, ini bukan hanya soal unjuk kekuatan Mataram, namun juga saat untuk unjuk kekuatan dirinya di hadapan Mendut. Namun, waktu itu Mendut tidak datang.
Nyai Ajeng:
“Maaf, Kanjeng, dia belum menyerah.”…. (RM, 1983:186) Lagi sosok Panglima Wiroguno menyambar di muka para puteri di bawah beringin di tepi alun-alun, berputar dan mendadak berhenti di muka Nyai Ajeng. “Dia ikut menonton?” Nyai Ajeng tidak dapat menjawab dan berputar kepada rekan-rekannya. “Mendut di mana tadi?” Putri Arimbi langsung tanpa tedheng aling-aling memberi keterangan, “Tadi memancing dengan dayangnya.” …. Geram ia berkata kepada Nyai Ajeng, “Baik. Mendut boleh membangkang. Tetapi dia dulu warga negeri Pathi, yang memberontak melawan Mataram. Maka dia harus membayar pajak. Sampai dia bertekuk-lutut.” … (RM, 1983:187) “Sudah! Tiga real bolehlah. Wiroguno bukan algojo. Katakanlah ini kepada si Medut itu.” Dan berputarlah Wiroguno, lari galop ke pergumulan perang-perangan, wilayah kegemarannya. (RM, 1983:189)
Sedikit di luar kuthonegoro Karta ada danau kecil Dyah Anjani namanya, yang mendapat air dari udik Sungai Gajah-Wong. Di situlah, dengan pembayangan dua orang pengawal Wirogunan, Roro Mendut dan Gendhuk Duku menghibur diri berenang-renang dan main-main naik perahu. (RM, 1983:191)
Roro Mendut kemudian mencari akal dan akan menjual rokok di pasar.

Wiroguno:
“Sudah! Pokoknya bilang kepada Mendut: boleh! Diizinkan dia berjualan rokok. Tetapi pajak harus tetap dibayar.” (RM, 1983:221)

Komplikasi 3: Pajak dinaikkan menjadi sepuluh real
Mendut dapat membayar pajak dari penjualan puntung rokok, tetapi Wiroguno menaikkan nilai pajaknya menjadi sepuluh real.
“Pelan-pelan ada pundi-pundi di maja disodorkan ke hidung Tumenggung. Terkejutlah Wiroguno. Ah, Nyai Ajeng. Begitu lembut seperti kucing, istrinya itu mendekat, dan begitu tertambat sang Tumenggung pada kalimat-kalimat bacaan Ngabehi Suwitoprojo, sehingga tak terdengar sama sekali Nyai Ajeng mendekat. Muka terenyum lelah bercampur setetes ejekan, berkatalah ia halus, “Kewajibanlah, Kakanda, yang membawa Nyai Ajeng kemari membawa pajak seperti yang telah Kakanda perintahkan.” “Pajak apa?” tanya Wiroguno agak gusar karena renungan tentang Resi Bismo melawan Srikandi tadi menjadi buyar. “Roro Mendut.” “Ah! Lagi si dia.” Nada suara Wiroguno menyayat hati Nyai Ajeng. Kasihan memang seorang panglima yang kalah. Apalagi kalah terhadap perempuan. Lemas jadinya seperti Bolodewo kehilangan gapitnya. Dia akan tenggelam atau mengamuk. Tetapi suaminya masih dapat mengekang perasaan. Perasaan? Tiada perasaan. Kehampaan. “Bagaimana selanjutnya, Kakanda?” “Sepuluh real sehari!” bentaknya.” (RM, 1983:237—238)

4. Turning Point/Klimaks
Klimaks atau turning point merupakan momen tertinggi yang dicapai oleh sang protagonis dalam perjalanan kariernya, saat situasi mencapai keadaan terbaik atau terburuk (titik nadirnya). Dalam novel “Roro Mendut” ini, Roro Mendut mencapai kemenangan besar terhadap Wiroguno ketika ia dapat mengumpulkan perhiasan, gelang, anting-anting, gasper sabuk perak dan keris meskipun pajaknya dinaikkan menjadi sepuluh real.
Namun sudah sejak hari ketiga wana ular antri sudah menjadi lain. Dari warna lusuh dan hitam kaum kampung rendah berganti ke warna batik dan sutera kaum menengah… (RM, 1983:242)
Mendut sendiri dengan dayang-dayangnya di belakang tirai tanpa dapat beristirahat melayani nafsu para penghisap puntung. Atas nasehat Ni Semongko, asap tidak dihisap tetapi ditiup saja, sehingga Mendut tidak mabok asap tembakau. Yang penting kan ludahnya. Gendhuk Duku membantu mempersiapkan batangan-batangan rokok dan Ni Semongko sibuk terus menghitung uang yang masuk. Kadang-kadang ada seorang pegawai tinggi membayar jauh lebih banyak daripada harga sebenarnya. Bahkan perhiasan-perhiasan, gelang, anting-anting, gasper sabuk perak, keris-keris pun mengalir masuk dalam tangan-tangan gendhut Ni Semongko. (RM, 1983:243—244)

Namun, saat itu ia juga merasakan kejatuhan dalam batinnya.
Namun, keberhasilan dari segi harta itu tidak dapat menghibur Mendut, yang seolah pingsan-sadar melayani semua pengagumnya, namun menangis dalam hati. Ke mana ini semua? Apakah akan begini terus? Teringatlah Mendut pada suatu pesan ayahnya:”Keberhasilan yang memuncak sering merupakan tanda-tanda awal suatu keruntuhan.” Mendut hanya dapat berdoa dalam lubuk hati. (RM, 1983:244)

Wiroguno pun merasakan kekalahannya:
Bayangan-bayangan gelap pelan-pelan bergerak pada dinding-dinding emperan gandhok. Nyai Ajeng datang lagi. Bersila dan menyembah. Dalam cahaya pelita yang menari-nari redup, wajah sang istri perdana tampak cantik, jauh lebih bercahaya, karena kontrasnya dengan gelap sekelilingnya. Seolah-olah hanya wajah itulah yang berpentas dan menawarkan diri. Luwes isterinya bersembah, sesudah meletakkan suatu barang di atas tikar sampingnya. Ia membawa pundi-pundi penuh uang lagi. Wiroguno sudah tahu. Lesu dipandanginya istri yang menjadi kebanggaan Wirogunan. (RM, 1983:288)
Lebih tegas lagi, kemenangan ini ditampakkan dalam pengakuan Nyai Ajeng:
Pelan-pelan Nyai Ajeng mengangkat pundi-pundi Mendut, yang tidak hanya berisi real-real pajak, 10 mata uang emas, akan tetapi bahkan upeti penghormatan kepada sang Tumenggung. Harus diakui, Roro Mendut menang gemilang. Kemenangan Roro Mendut pada hakekatnya kemenangan kaum wanita juga. Hal itu sangat terasa oleh Nyai Ajeng, yang selain wanita cantik, bernalar cerdas juga. Ada dalam diri seorang istri yang mendorongnya membela suami. Akan tetapi, dalam banyak segi, setelah kedudukan dan penghargaan selaku isteri atau ibu tercapai, maka segi wanitalah yang akan lebih berbicara. Bagaimanapun, Roro Mendut toh semacam pahlawan juga. (RM, 1983:295)


5.      Resolusi
Resolusi merupakan saat-saat penyelesaian konflik. Konflik antara Roro Mendut dan Wiroguno diakhiri dengan beberapa tahapan. Setidaknya ada tiga tahapan resolusi berikut ini:

Resolusi 1: Roro Mendut bertemu dengan Pronocitro
Ketika Roro Mendut berhasil menjual puntung rokok pada puncak perjalanannya, Pronocitro pun datang ke pasar tersebut. Di sana ia mencari tahu siapa penjual puntung rokok yang amat digemari itu. Dengan bantuan Ntir-untir dan Bolu, Pronocitro akhirnya tahu bahwa si penjual puntung rokok adalah Mendut, perawan pantai utara yang menjadi tambatan hatinya. Pengarang mengkisahkan pertemuan mereka berdua dengan menceritakan pergulatan dalam hati mereka.
Dan loloslah Pronocitro, yang menyusup tenang dan aman ke belakang kedai.
Siapakah engkau? Tanya dua pasang mata, terkejutlah bersama-sama. Aku pernah melihatmu! Aku pernah mengenalmu, kata yakin lubuk dua hati yang heran terharu. Siapakah yang mengutusmu kemari? Siapakah yang mendorongku melangkahi jarak begitu jauh, hanya untuk bersua denganmu? Ada saat-saat yang justru meniadakan waktu. Ada peristiwa yang justru meniadakan kejadian. Seolah-olah keabadian dan impian lalu saling berciuman dan segala-gala telah terpenuhi. ………. Tak mustahil, gadis yang menurut kata orang bernama Roro Mendut itu si gadis nelayan di dermaga, pukauan hati yang dahulu itu?…
Kau menderita, Lelaki muda, dengan wajahmu yang tenang di tampang, namun gemetar sinar dalam yang kutangkap dari manik-manik matamu. Ah sama denganku. Kau menderita. Tapi perawanku lebih menderita. Kau merdeka, aku tawanan. Kau dapat memilih kekasihmu. Aku setiap saat dapat diperkosa. Bersungguh-sungguh citra wajahmu. Siapa kau untukku? Kau bukan jenis Arjuno…………. Ataukah kau kesatuan Nakulo-Sadewo, setiawan yang tekun, tak ingin tenar sendirim tetapi yang tak pernah dapat lupa………. Siapa namamu? Ah, maukah kau menjadi Nakulo-ku? Ah,… kau lelah, beranjak ingin pergi? Takut barangkali? Atau bosan, memandang hina pada penjual puntung rokok yang nyaris pelacur ini? Jangan pergi, ah, Nakulo, jangan pergi… (257—259)

Resolusi 2: Pronocitro membawa lari Mendut tetapi ia menolak
Sehari sesudah bertemu dengan Roro Mendut, saat acara sabung ayam, Pronocitro membawa lari Roro Mendut. Ketika itu terjadi kerusuhan di pasar. Suasana pasar kacau balau dan Pronocitro membawa lari Roro Mendut, Genduk Duku dan Ni Semongko. Namun, Roro Mendut menolak karena ia teringat temannya, Putri Arumardi yang juga menderita di puri Wirogunan.
Kalangan pengantri kedai Mendut sudah mulai ribut yang menjurus gawat. Berteriaklah Mendut, “Mas Prono! Mas Prono!” Gendhuk menangis. Ni Semongko panik. Dalam kedai benar huru-hara terjadi, karena Mendut sudah lelah patah tidak mau menjual rokok lagi. Hatinya merintih,
“Pertarungan, apa maknanya …
Pergulatan, apa artinya….
Manusia tak mau kalah.
Manusia mencari kejayaan.
Kepada hidup manusia berkata: Sendiko! Sendiko! Sendiko! Mboten! Mboten! Mboten! Sendiko-mboten-sendiko-mboten-sendiko-mboten-sendikoooooo!”
Pronocitro gelisah dalam hati. Tanpa menunggu lagi hasil lomba sabungan ayam, ia lari ke kedai Mendut. Diikuti punakawannya yang setia, penjagaan di gang didobrak dan seperti angin ribut ketiga orang itu masuk ke dalam kedai Mendut. Mendut dan kawan-kawan terkejut, tetapi berlimpah gembira. Ketiga wanita itu langsung dilarikan ke cikar-cikar dagang Pronocitro. (RM, 1983:318—319)
“Tawaranmu telah kubayangan berhari-hari, tetapi aku tidak berhak membebankan nasibku padamu. Jangan! Jangan, Mas!”
“Tekadku sudah bulat. Dan tanggungjawabku adalah kehormatanku.”
Mendut menagis lirih.
“Barangkali aku belum siap. Ada seorang sahabat setia yang menderita seperti aku di dalam puri, yang tak mungkin kutinggalkan begitu saja.”
“Dayang-dayangmu?”
“Ya.”
“Semua mereka akan ikut kita.”
“Masih satu lagi …, Putri Arumardi, seorang selir muda, sahabat baruku.”
“Dia boleh ikut, kalau mau.”
“Perlu saya persiapkan dahulu.”
“Tetapi ah,… kita tak punya waktu. Bagaimana, sekarang saja?”
“Jangan, jangan Mas Prono.”
Hormat Pronocitro mencium kedua beah mata Mendut.
“Belum pernah aku berjumpa dengan jiwa semulia kau, Adikku…Adikku…oh, barangkali justru akulah yang harus kau selamatkan.”
“Tidak… tidak…, si Mendut-lah yang membutuhkan Pronocitro.” Dan dicium olehnya kedua mata Pronocitro.
“Ah, sekali saat, entah kapan, kita pasti saling bersua lagi.” (RM, 1983:322—323)

Resolusi 3: Pronocitro dan Mendut melarikan diri
Pronocitro telah menjadi penjinak kuda keputrian di puri Wirogunan. Pada suatu malam, ia telah berniat untuk membawa lari Roro Mendut. Usahanya ini diketahui oleh Nyai Ajeng dan Wiroguno. Wiroguno ingin mengejar mereka berdua tetapi Nyai Ajeng membiarkannya lari.
Pronocitro melompat pagar dan masuk halaman keputrian. Berhati-hati ia mendekati gandhok. Dipanggilnya lirih kekasihnya yang pas mau masuk pintu. Ketika melihat Pronocitro, Mendut terbelalak matanya, telapak tangan di muka mulut, dan tergopoh langsung mematikan lampu……Prajurit tadi melapor kepada penatus, bahwa Pronocitro telah masuk. Penatus melapor kepada dayang-utama Nyai Ajeng. Dayang Nyai Ajeng melapor kepada Nyai Ajeng yang sudah terbaring di ranjang. Nyai Ajeng lekas berbusana sedikit, lalu menemui penatus Jogopuro yang masih menunggu di luar. Mereka berunding apa yang sebaiknya dikerjakan. Akhirnya Nyai Ajeng memutuskan untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Pelan-pelan mereka, dengan disertai dayang-utama pergi ke bagian gandhok Mendut ……( RM, 1983:360)
Saat kejadian itu, Nyai Ajeng membawa Wiroguno ke gandhok Mendut:
“Kakanda, daripada hanya membayangkan saja, mari kita tengok kekasih Kanjeng.” (RM, 1983:362)

Tak terasa mereka sampai di gerbang halaman keputrian. Penatus Jogopuro memberi hormat, bersembah dan melapor menurut instruksi, “Dia masih di dalam.”
Nyai Ajeng (sengaja keras-keras), “Siapa?”
“Pronocitro, Puanku.”
Jantung Wiroguno serasa berhenti.
“Pronocitro? Di dalam?”
Meledaklah sekarang segala kubah lahar yang selama ini tertumpuk. Sungguh dahsyat mengerikan bila gunung seperti Merapi meletus. Mengamuklah Wiroguno masuk ke halaman menuju gandhok Mendut. Digebraknya pintu. Ni Semongko dan Gendhuk Duku menjerit dan langsung spontan lari. Ruang tidur Mendut ternyata kosong.
Nyai Ajeng membisikkan perintah kepada Jogopuro, “Biarkan dua orang itu lari!”……..
Prajurit dan dayang-dayang berbondong lari ke kandang kuda. Keputrian menjadi sepi. Lekas-lekas Putri Arumardi masuk gandhoknya dan memberi tanda. Secepat badai, Pronocitro dan Roro Mendut yang oleh kewaspadaan Arumardi disembunyikan dalam gandhoknya berlari keluar, memanjat tangga yang tak kelihatan tersembunyi di balik  dedaunan pohon sawo kecik yang rindang, gesit meloncat di atas dinding puri. Di luar Ntir-untir dan Bolu sudah siap dengan tangga lain. Tanpa menghamburkan secuil detik Mendut diangkat di atas kuda yang telah siap, dan berlarilah kedua kekasih itu ke dalam kegelapan malam. Ntir-untir dan Bolu cepat-cepat naik kuda mereka masing-masing dan lari ke arah yang berlawanan. (RM, 1983:364—365)

6. Konklusi/Hasil akhir
Konklusi merupakan hasil akhir dari cerita. Hasil akhir dari novel “Roro Mendut” merupakan closed ending. Setelah melarikan diri, Roro Mendut dan Pronocitro akhirnya sampai di muara sungai Oya-Opak. Wiroguno akhirnya menemukan mereka dan menantang untuk berkelahi dengan Pronocitro. Mendut dan Pronocitro mati di tangan kekuasaan Wiroguno.
Serangan kilat Wiroguno benar-benar menentukan. Pronocitro tergelimpang di muka Roro Mendut, walaupun masih sempat menikam Wiroguno, yang terampil mengelakkan serangan. Wiroguno mengamuk untuk keduakalinya dan penuh nafsu menikamkan kerisnya ke arah dada Pronocitro. Tetapi pada saat itu Mendut maju spontan bermaksud membela kekasihnya. Tanpa sengaja keris Wiroguno menusuk jantung Mendut yang rebah di atas kekasihnya. Sebuah gelombang besar dari laut merenggut kedua kekasih yang bermandikan darah saling merangkul itu. Terbawalah langsung mereka ke muara. (RM, 1983:369)

4.1.4        Gaya Penceritaan
Unsur gaya atau style, menurut Nurgiyantoro (1998:276—277), dapat dilihat dari penggunaan bahasa, pilihan kalimat, dialog, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi ataupun detail. Gaya pada hakikatnya merupakan suatu teknik yaitu, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan.
Gaya penceritaan yang digunakan oleh Y.B. Mangunwijaya mengungkapkan kisah yang penuh intrik. Kisah Rara Mendut yang berlatar sejarah Kerajaan Mataram diceritakan secara ringan. Pengarang juga memasukkan kutipan-kutipan pepatah, syair-syair dalam tembang Jawa dan humor-humor yang segar, sehingga pembaca bisa menikmati isi cerita yang penuh konflik tanpa tegang disepanjang cerita.
(Ntir Untir)            :
“Naiklah cikar kuda, berlari ke Selatan.”
(Bolu sambil menggandul di samping kusir):
 “Sungguh sukar diduga arah hati perawan.”
(Ni Simongko):
“Semongko di pesisir, buah manggis di teluk.”
(Gendhuk Duku):
“Jejaka yang menaksir, namun gadis yang menunjuk.”
(Ni Semongko):
“Mendaki si Ketilang, duluan Burung Puyuh.”
(Gendhuk Duku):
“Lelaki yang meminang, perempuan yang menyuruh.” (RM, 1983:325—326)

Selanjutnya, digambarkan juga bahwa para lelaki yang menunggu antrian untuk membeli puntung rokok Roro Mendut, mengisi waktu mereka dengan pantun.
“Mulailah suatu kelompok yang suka bergendhing-gendhing mengisi waktu tunggu yang semakin panas dalam lagu Pocung kethok rak lesung, sahut-menyahut trampil sekali. Tidak kalah disejajarkan dengan orang-orang Melayu yang pandai bersahut-sahutan dalam pantun.
“Pisan iki aku gandrung putri ayu.”
“Ning dhaup, segoro!”
“Lothung dikon angon minthi.”
“Uthung dikon ngangsu.”
“Menek ngundhuh klopo.” (RM, 1983: 227—228)

…seperti tongkat estafet, tongkat dialog berlagu-lagu itu diteruskan,
“Keok kalah lawan wong ayu!”
“Puntung kotor begitu saja mau!”
“Dasar lelaki suka ditipu!”
“Memang lelaki dari dulu otaknya dari tahu!”
(RM, 1983:228)

4.2 Riwayat Y.B. Mangunwijaya
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya lahid ri Ambarawa, Kabupaten Semarang, 06 Mei 1929. Pada usia 69 tahun, ia meninggal tanggal 10 Februari 1999 pukul 14:10 WIB di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta. Ia meninggal setelah terkena serangan jantung saat berbicara di Hotel Le Meridien, Jakarta dan disemayamkan di makam biara, Kentungan—Yogyakarta. Y.B. Mangunwijaya mempunyai panggilan populer Romo Mangun. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai seorang rohaniawan, budayawan, arsitek, penulis, dan pembela rakyat kecil.
Pada tahun 1936, Romo Mangun masuk HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan, Magelang. Setelah tamat di tahun 1943, dia meneruskan ke STM Jetis, Yogyakarta. Selanjutnya, ia mulai tertarik pada Sejarah Dunia dan Filsafat. Sebelum sekolah tersebut dibubarkan setahun kemudian, dia aktif mengikuti kingrohosi yang diadakan tentara Jepang di lapangan Balapan, Yogyakarta. Di tahun 1945, ia bergabung sebagai prajurit TKR Batalyon X Divisi III dan bertugas di asrama militer di Vrederburg, lalu di asrama militer Kotabaru, Yogyakarta. Dia sempat ikut dalam pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan Mranggen. Setahun kemudian dia kembali melanjutkan sekolahnya di STM Jetis dan bergabung menjadi prajurit Tentara Pelajar. Setelah lulus pada tahun 1947, Agresi Militer Belanda I melanda Indonesia sehingga Romo Mangun kembali bergabung dalam TP Brigade XVII sebagai Komandan TP Kompi Kedu.

Biografi Romo Mangun
1948
Masuk SMU-B Santo Albertus, Malang
1950
Sebagai perwakilan dari Pemuda Katolik menghadiri perayaan kemenangan RI di alun-alun kota Malang. Disini Romo Mangun mendengar pidato Mayour Isman yang kemudian sangat berpengaruh bagi masa depannya.
1951
Lulus SMU-B Santo Albertus, melanjutkan ke Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta.
1952
Pindah ke Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang.
1953
Melanjutkan ke Seminari Tinggi. Sekolah di Institut Filsafat dan Teologi Santo Paulus di Kotabaru. Salah satu pengajarnya adalah Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ.
1959
08 September ditahbiskan menjadi Imam oleh Uskup Agung Semarang, Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ. Melanjutkan pendidikan di Teknik Arsitektur ITB.
1960
Melanjutkan pendidikan arsitektur di Rheinisch Westfaelische Technische Hocheshule, Aachen, Jerman.
1963
Menemani saat Uskup Agung Semarang, Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ menginggal dunia di Biara Suster Pusat Penyelenggaraan Ilahi di Harleen, Belanda.
1966
Lulus Pendidikan arsitektur dan kembali ke Indonesia.
1967—1980
Menjadi Pastor Paroki di Gereja Santa Theresia, Desa Salam, Magelang. Mulai berhubungan dengan pemuka agama lain, seperti Gus Dur dan Ibu Gedong Bagoes Oka. Menjadi Dosen Luar Biasa jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM. Mulai menulis artikel untuk koran Indonesia Raya dan Kompas, tulisan-tulisannya kebanyakan bertema: agama, kebudayaan, dan teknologi. Juga menulis cerpen dan novel.
1975
Memenangkan Piala Kincir Emas, dalam cerpen yang diselenggarakan Radio Nederland.
1978
Atas dorongan Dr. Soedjatmiko, Romo Mangun mengikuti kuliah singkat tentang masalah kemanusiaan sebagai Fellow of Aspen Institute for Humanistic Studies, Aspen, Colorado, AS.
1980—1986
Mendampingi warga tepi Kali Code, yang terancam penggusuran. Melakukan mogok makan menolak rencana penggusuran.
1986—1994
Mendampingi warga Kedung Ombo yang menjadi korban proyek pembangunan waduk.
1992
Mendapat The Aga Khan Award untuk arsitektur Kali Code.
1994
Mendirikan laboratorium Dinamika Edukasi Dasar. Model pendidikan DED ini diterapkan di SD Kanisius Mangunan, di Kalasan, Sleman, Yogyakarta.
26 Mei 1998
Romo Mangun menjadi salah satu pembicara utama dalam aksi demonstrasi peringatan terbunuhnya Moses Gatutkaca di Yogyakarta.
10 Februari 1999
Wafat karena serangan jantung, setelah memberikan ceramah dalam seminar Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru di Hotel Le Meridien, Jakarta.

Riwayat Pendidikan Romo Mangun
1936—1943
HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan, Magelang
1943—1947
STM Jetis, Yogyakarta
1948—1951
SMU-B Santo Albertus, Malang
1951
Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta
1952
Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang
1953—1959
Filsafat Teologi Sancti Pauli, Koatabaru, Yogyakarta
1959
Teknik Arsitektur, ITB, Bandung
1960—1966
Reinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman
1978
Fellow Aspen Institute for Humanistic Studies, Colorado, Amerika Serikat.

Romo Mangun mendapatkan penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penganugerahan ini atas rekomendasi Sekretariat Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penganugerahan ini berlangsung di Istana Negara pada tanggal 11 November 2010, setelah 9 bulan ia meninggal.
Romo Mangun dan Sastra
Romo Mangun mulai mengenal sastra saat tamat dari bangku SD tahun 1943. Kemampuannya dalam menulis terbangun ketika ia masih di bangku SD. Guru-guru SD-nya waktu itu adalah para biarawan Belanda yang mendidik muridnya agar dapat berpikir luas. Ilmu bumi bukan hanya menghafal nama kota, laut, dan lain-lain. Namun, diajarkan dengan merangsang imajinasi masing-masing siswa ke tempat-tempat yang lebih jauh lagi. Dengan paparan tentang budaya dan sejarah bangsa lain sehingga menarik minat siswa untuk menekuninya. Ia diajarkan untuk membuat karangan yang spesifik yang mengharuskan untuk melakukan observasi, menganalisis, dan mencatat hal-hal yang diperlukan untuk menulis karangan, sehingga karangan akan menjadi lengkap. Para guru di sekolah SD itu sangat memperhatikan daya tarik dan kreativitas dari setiap murid-muridnya.
Romo Mangun menaruh perhatian lebih pada pendidikan anak-anak. Tulisannya tentang pendidikan anak antara lain termuat dalam buku “Menumbuhkan Sikap Religiusitas Anak-anak”, “Tumbal” (kumpulan esai), artikel di majalah Basis “Mencari Visi Dasar Pendidikan”, kumpulan esai “Impian dari Yogyakarta”.
Karya sastra yang ia baca waktu itu dan masih membekas sampai ia dewasa adalah “Max Havelaar” karya Multatuli. Struktur cerita novel itu juga diakui ia pakai dalam menulis “Burung-Burung Manyar.”
Romo Mangun dikenal melalui novelnya yang berjudul Burung-Burung Manyar. Mendapatkan penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996.Ia banyak melahirkan kumpulan novel seperti di antaranya: Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa, Roro Mendut, Durga/Umayi, Burung-Burung Manyar dan esai-esainya tersebar di berbagai surat kabar di Indonesia. Buku Sastra dan Religiositas yang ditulisnya mendapat penghargaan buku non-fiksi terbaik tahun 1982.

Romo Mangun Arsitektur
Dalam bidang arsitektur, beliau juga kerap dijuluki sebagai bapak arsitektur modern Indonesia. Salah satu penghargaan yang pernah diterimanya adalah Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur, yang merupakan penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, untuk rancangan pemukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta. Ia juga menerima The Ruth and Ralph Erskine Fellowship pada tahun 1995, sebagai bukti dari dedikasinya terhadap wong cilik. Hasil jerih payahnya untuk mengubah perumahan miskin di sepanjang tepi Kali Code mengangkatnya sebagai salah satu arsitek terbaik di Indonesia. Menurut Erwinthon P. Napitupulu, penulis buku tentang Romo Mangun yang akan diluncurkan pada akhir tahun 2011, Romo Mangun termasuk dalam daftar 10 arsitek Indonesia terbaik. Karya-karya arsitekur Romo Mangun adalah sebagai berikut.
1.      Pemukiman warga tepi Kali Code, Yogyakarta
2.      Kompleks Religi Sendangsono, Yogyakarta
3.      Gedung Keuskupan Agung Semarang
4.      Gedung Bentara Budaya, Jakarta
5.      Gereja Katolik Jetis, Yogyakarta
6.      Gereja Katolik Cilincing, Jakarta
7.      Markas Kowihan II
8.      Biara Trappist Gedono, Salatiga, Semarang
9.      Gereja Maria Assumpta, Klaten
10.  Gereja Maria Sapta Duka, Mendut
11.  Gereja Katolik St. Pius X, Blora
12.  Wisma Salam, Magelang

Romo Mangun Politik
Kekecewaan Romo Mangun terhadap sistem pendidikan di Indonesia menimbulkan gagasan-gagasan di benaknya. Dia lalu membangun Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. Sebelumnya, Romo membangun gagasan SD yang eksploratif pada penduduk korban proyek pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta.
Perjuangannya dalam membela kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan oleh politik dan kepentingan para pejabat dengan “jeritan suara hati nurani” menjadikan dirinya beroposisi selama masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Buku dan tulisan Romo Mangun
  1. Balada Becak, novel, 1985
  2. Balada dara-dara Mendut, novel, 1993
  3. Burung-Burung Rantau, novel, 1992
  4. Burung-Burung Manyar, novel, 1981
  5. Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa, 1987
  6. Durga Umayi, novel, 1985
  7. Esei-esei orang Republik, 1987
  8. Fisika Bangunan, buku Arsitektur, 1980
  9. Gereja Diaspora, 1999
  10. Gerundelan Orang Republik, 1995
  11. Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa, novel, 1983
  12. Impian Dari Yogyakarta, 2003
  13. Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta, 2000
  14. Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan: renungan filsafat hidup, manusia modern, 1999
  15. Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia, 1999
  16. Menjadi generasi pasca-Indonesia: kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, 1999
  17. Menuju Indonesia Serba Baru, 1998
  18. Menuju Republik Indonesia Serikat, 1998
  19. Merintis RI Yang Manusiawi: Republik yang adil dan beradab, 1999
  20. Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein, 1999
  21. Pemasyarakatan susastra dipandang dari sudut budaya, 1986
  22. Pohon-Pohon Sesawi, novel, 1999
  23. Politik Hati Nurani
  24. Puntung-Puntung Roro Mendut, 1978
  25. Putri duyung yang mendamba: renungan filsafat hidup manusia modern
  26. Ragawidya, 1986
  27. Romo Rahadi, novel, 1981 (terbit dengan nama samaran Y. Wastu Wijaya)
  28. Rara Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, novel trilogi, dimuat 1982-1987 di harian Kompas, dibukukan 2008
  29. Rumah Bambu, kumpulan cerpen, 2000
  30. Sastra dan Religiositas, kumpulan esai, 1982
  31. Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat, 1999
  32. Soeharto dalam Cerpen Indonesia, 2001
  33. Spiritualitas Baru
  34. Tentara dan Kaum Bersenjata, 1999
  35. Tumbal: kumpulan tulisan tentang kebudayaan, perikemanusiaan dan kemasyarakatan, 1994
  36. Wastu Citra, buku Arsitektur, 1988
Buku tentang Romo Mangun
  1. Sumartana, dkk. Mendidik Manusia Merdeka Romo Y.B. Mangunwijaya 65 Tahun. Institut Dian/Interfedei dan Pustaka Pelajar, 1995. ISBN 979-8726-01-4.
  2. Wahid, Abdurrahman. Romo Mangun Di Mata Para Sahabat. Kanisius, 1999. ISBN 979-672-431-6.
  3. Priyanahadi, dkk. Y.B. Mangunwijaya, Pejuang Kemanusiaan. Kanisius, 1999. ISBN 979-672-435-9.
  4. Prawoto, Eko A. Tektonika Arsitektur Y.B. Mangunwijaya. Cemeti Art House Yogyakarta, 1999.
  5. Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan. Kanisius, 1999. ISBN 979-672-433-2.
  6. Sindhunata. Menjadi Generasi Pasca-Indonesia, Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya. Kanisius, 1999. ISBN 979-672-432-4.
  7. Purwatma. Romo Mangun Imam bagi Kaum Kecil. Kanisius, 2001. ISBN 979-672-959-8.
  8. Rahmanto, B. Y.B. Mangunwijaya: Karya dan Dunianya. Grasindo, 2001. ISBN 978-979-96526-1-4.
  9. Yahya, Iip D. dan Shakuntala, I.B. Romo Mangun Sahabat Kaum Duafa. Kanisius, 2005. ISBN 978-979-21-0563-6.
Sumber Rujukan:

4.2      Struktur Sosial Masyarakat yang menjadi Latar Belakang Penciptaan Novel Roro Mendut Karya Y.B. Mangunwijaya
Latar balakang novel Roro Mendut adalah kerajaan Mataram Islam di era abad ke-17, kehidupan sosisal budaya masyarakat masih dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Dalam kehidupan sehari-hari pada era itu, Raja dianggap sebagai dewa dan memiliki kedaulatan yang tinggi. Pada masa itu, perempuan tidak memiliki hak apapun untuk mengatur tubuh dan jiwanya, termasuk dalam soal cinta, jodoh, dan pernikahan. Kecantikan perempuan hanya boleh dinikmati oleh karangan ningrat saja. dalam novel diceritakan bahwa perempuan hanya berperan dalam wilayah domestik saja, yaitu sebagai ibu dan istri. Status dan peran perempuan Jawa ditentukan dari ideologi yang telah lama mengakar dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan berumah tangga. Ideologi yang menekankan bahwa peran perempuan yang utama adalah di sekitar rumah tangga, sebagai ibu dan istri, telah berabad-abad disosialisasikan dan mengejawantah dalam masyarakat Jawa. Ideologi yang menekankan pada peran reproduksi dan domestik perempuan yang sangat ditekankan pada perempuan kelas atas di zaman kerajaan-kerajaan Jawa. Perempuan digambarkan sebagai makhluk yang anggun, halus, rapi tetapi tidak memiliki daya pikir yang tinggi, dan kurang memiliki kemampuan serta kekuatan spiritual, sehingga ia dianggap tidak mampu menduduki jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan dan masyarakat. Akan tetapi, meskipun novel Roro Mendut ini berlatar belakang kehidupan sosial budaya kerajaan Mataram, permasalahan dalam novel tersebut berkaitan dengan persoalan ketika pengarang Y.B Mangunwijaya memproduksi teks novel ini, yaitu pada tahun 1983.
Struktur sosial masyarakat Indonesia pada waktu penciptaan novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya (1980-an) adalah peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan berperan ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan juga membantu suami mencari nafkah.
Untuk menjadi setara dengan laki-laki, perempuan harus melakukan peran ganda, yaitu berperan sebagai ibu dan istri (di wilayah domestik) dan berperan membantu suami mencari nafkah (di wilayah publik). Peran ganda tersebut masih berlangsung hingga sekarang. Akan tetapi, peran ganda ini menyebabkan beban perempuan menjadi lebih berat karena menjalankan jenis kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan rumah tangga dan kegiatan mencari nafkah pada industri rumah tangga, kegiatan mencari nafkah pada kesempatan lain, kegiatan sosial dan masyarakat, dan kegiatan individual. Dengan demikian, banyak peran yang harus dilakukan oleh perempuan menandakan bahwa perempuan menjalankan beban ganda.

4.3      Pandangan Dunia Pengarang (Y.B. Mangunwijaya) dalam Penciptaan Novel Roro Mendut
Y.B. Mangunwijaya adalah pengarang yang beriman kepada Tuhannya. Dalam novel Roro Mendut, ditampilkan sikap keimanan Roro Mendut kepada Allah Swt., yang ditampilkan Y.B. Mangunwijaya dalam kutipan berikut.

Terima kasih Putri Arumardi! Juga berkat sikapmu, Insya Alloh Mendut dapat merdeka.” (RM, 1983:359)

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai makhluk yang lemah hanya bisa berusaha semaksimal mungkin. Akan tetapi, hasilnya hanya Allah yang dapat menentukannya. “Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud:88) Selanjutnya, diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dari Nabi Saw., bahwa beliau bersabda. “Barangsiapa ingin menjadi orang yang paling kuat, maka hendaknya ia bertawakal kepada Allah. Barangsiapa ingin menjadi orang yang paling mulia, maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah, dan barangsiapa ingin menjadi orang yang paling kaya, maka hendaknya (berkeyakinan bahwa) apa yang berada di tangan Allah itu lebih dapat dipercaya daripada apa yang ada di tangannya.” (Laits dan Samarqandi, 1999:251)
Selanjutnya, Y.B. Mangunwijaya juga menggambarkan kasih sayang Allah Swt. kepada segala makhluknya. Untuk itu, sebagai manusia hendaknya kita bisa saling memberikan kasih sayang sesama. Manusia yang beriman pasti akan memiliki sikap kasih sayang terhadap sesama dan mau memaafkan segala kesalahan orang lain. Namun, sikap tersebut tidak dimiliki Tumenggung Wiraguna seperti dalam kutipan berikut.

… Roro Mendut bersembah, lalu mengusapi luka-luka wajah itu dengan pucuk kainnya, sambil merintih, “Paduka, apabila Allah Mahakuasa sekaligus maha Al Rachman Al Rachim, mengapa keagungan ningrat manusia tidak sudi bermurah hati? Mengapa sekeras itu Yang Mulia bersikap terhadap kami?”
Wiroguno membentak, “Mengapa?” Huh, justru karena Wiroguno bukan Allah!”
Terkujutlah Roro Mendut.
“Tumenggung terjunjung. Sebenarnya akulah, si Mendut, yang harus paduka bunuh.”
Bergumamlah Wiroguno jengkel, “Membunuh wanita lain caranya.” (RM, 1983:395)

Bunuh diri adalah perbuatan yang tidak terpuji dan dilarang dalam agama. Akhir dari cerita Roro Mendut ditulis Y.B. Mangunwijaya dengan terbunuhnya Roro Mendut secara tidak sengaja oleh Tumenggung Wiraguna. Sedangkan, dalam cerita rakyat Jawa, ada yang mengungkapkan bahwa Roro Mendut bunuh diri di atas pusara Pronocitro setelah mengetahui bahwa Pronocitro telah terbunuh oleh Tumenggung Wiraguna.
Serangan kilat Wiroguno benar-benar menentukan. Pronocitro tergelimpang di muka Roro Mendut walaupun masih sempat menikam Wiroguno, yang terampil mengelakkan serangan. Wiroguno mengamuk untuk kedua kalinya dan penuh nafsu menikamkan kerisnya kearah dada Pronocitro. Tetapi pada saat ini Mendut maju spontan bermaksud membela kekasihnya. Tanpa sengaja keris Wiroguno menusuk jantung Mendut yang rebah di atas kekasihnya.
Sebuah gelombang besar dari laut merenggut kedua kekasih yang bermandikan darah saling merangkul itu. Terbawalah langsung mereka ke muara. Wiroguno masih dapat bertahan diri di pasir pantai dan melarikan diri dari kemungkinan gelombang susulan. Gendhuk Duku, kawan-kawannya dan seluruh prajurit dan rakyat dari jauh menjadi saksi, bagaimana Mendut dan Ponocitro disambut oleh gelombang-gelombang laut dan dihela menjauh dari pantai. Di lempar kembali ke muara, dihela lagi menjauh. Berkali-kali dan masih saja saling berangkulan. Wiroguno tertegun, dan dengan kerisnya di dahi, tunduk, perlahan-lahan duduk bersila di tanah, dan terharu memberi hormat. (RM, 1983:396—397)


4.4      Nilai-Nilai Sosial yang Terkandung dalam Novel Roro Mendut Karya Y.B. Mangunwijaya

1.    Kasih Sayang
Al-Faqih menuturkan dari Abul Husain Ahmad bin Hamdan, dari Ahmad bin Al-Harts, dari Qutaibah bin Sa’id Al-Baghdadi, dari Malik bin Sami, pelayan Abu Bakar, dari Abu Bakar dari Abu Shalih As-Saman, dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda.
“Suatu saat ada seseorang sedang berjalan merasa sangat haus lalu ia menemukan sumur, maka iapun turun ke dalamnya dan minum. Kemudian ia keluar dari sumur dan di situ ada seekor anjing yang menjilati tanah karena haus, lalu orang itu berkata, 'Anjing ini tentu kehausan seperti Aku.’ Maka ia turun ke dalam sumur dan memenuhi sepatunya dengan air, kemudian ia menggigitnya sampai ia naik dan memberikan minuman kepada anjing. Allah Ta’ala memuji perbuatannya itu, dan mengampuninya. Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah di dalam (menolong) binatang ada pahala bagi kita?’ Beliau menjawab, ‘Dalam (menolong) setiap yang bernyawa ada pahalanya.” (Laits dan Samarqandi, 1999:94)

Al-Hafqih menuturkan dari Muhammad bin Al-Fadhl, dari Muhammad bin Ja’far dari Ibrahim bin Yusuf, dari An-Nadhr bin Al-Asy’ats, dari Al-Hasan, bahwa rasulullah Saw. bersabda:
“Tidak akan masuk surga kecuali orang yang mempunyai rasa kasih sayang. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kami semua mempunyai rasa kasih sayang.’ Beliau bersabda, ‘(Yang dimaksud) bukanlah kasih sayang salah seorang di atara kamu terhadap dirinya sendiri saja, akan tetapi rasa kasih sayang kepada semua manusia dan tidak mempunyai rasa kasih sayang kepada mereka, kecuali Allah Ta’ala. (Laits dan Samarqandi, 1999:94)

Penuh sayang seperti kepada anaknya sendiri, dayang Ni Semongko mengucapkan nasihat itu kepada gadis bawuk dari pantai yang dipercayakan kepadanya oleh Ni Sekar, dayang utama puri Pathi. (RM, 1983:21)


2.    Pandai Bersyukur
Al-Faqih menuturkan dari Abu Ja’far, dari Abul Qasim Ahmad bin Ham, dari Muhammad bin Salamah, dari Muhammad bin Abu Syaibah, dari Abu Usamah, dari Zakariyah bin Abu Zaidah, dari Sa’id bin Abu Burdah, dari Anas bin Malik r.a., dari Nabi Saw., beliau bersabda.
“Sesungguhnya Allah Ta’ala rida kepada hamba yang jika ia memakan makanan atau minuman, ia memuji kepada-Nya.” (Laits dan Samarqandi, 1999:211)

Selanjutnya, diriwayatkan dari Sa’id, dari Qatadah, bahwa Nabi Saw. bersabda sebagai berikut.
“Ada empat hal yang barangsiapa diberi empat hal tersebut, maka ia benar-benar diberi kebaikan dunia dan akhirat, yaitu: lisan yang selalu berzikir, hati yang selalu bersyukur, badan yang selalu sabar, dan isteri yang beriman serta salehah.” (Laits dan Samarqandi, 1999:213)

Allah Swt., akan menambah nikmat bagi hambanya selalu bersyukur. Sedangkan, bagi hambanya ingkar akan mendapatkan azab yang amat pedih. Manusia harus pandai bersyukur atas segala nikmat dan karunia dari Allah Swt. kepadanya. Y.B. Mangunwijaya menyampaikan bahwa manusia harus dapat bersyukur atas segala nikmat yang telah diperolehnya.
Permohonan yang lebih bersifat madah syukur, atas segala malapetaka peristiwa kehidupan, namun juga atas segala rahmat kebahagiaan, yang ternyata tanpa diminta, dihadiahkan begitu saja dari malam-malam sember embun pagi. (RM, 1983:54)

3.    Keberanian
Y.B. Mangunwijaya mengungkapkan keberpihakannya kepada kaum miskin dan teraniya melalu Novel Roro Mendut. Roro Mendut dengan berani dapat melakukan perlawanan terhadap Tumenggung Wiroguno.
Penuh sayang seperti kepada anaknya sendiri, dayang Ni Semongko mengucapkan nasihat itu kepada gadis bawuk dari pantai yang dipercayakan kepadanya oleh Ni Sekar, dayang utama puri Pathi. “Harimau betina dia,” kata Ni Sekar kepadanya. “Dari ladang-ladang ilalang timur laut sana. Harus  dijinakkan dulu dia, sebelum dihadapkan ke gandhok Adipati.” (RM, 1983:21)
Keberanian untuk melawan disampaikan Y.B. Mangunwijaya melalui perlawanan Roro Mendut ketika pertama kali bertemu dengan Panglima Besar Mataram Tumenggung Wiroguno.
Lunglai kehabisan nafas serta tenaga akhirnya Mendut terjatuh, nyaris terinjak oleh kaki-kaki kuda yang lewat. Kura Panglima Tumenggung Wiroguno sendiri. Saat itulah pertemuan pertama antara panglima termasyhur Mataram dengan si Mendut. … Baru sesudah Mendut berkecak pinggang, dada membusung tanpa takut, dan tanpa satu kata pun menyinarkan sorotan matanya yang penuh amarah dan ungkapan tantangan, tersenyumlah Wiroguno. “Hanyut nyawa siapa yang berani menjamahku!” begitulah ancaman sorotan mata harimau betina itu, yang juga langsung menikam mata panglima. (RM, 1983:49)
Selanjutnya, keberanian dalam membela kebenaran dilukiskan Y.B. Mangunwijaya dalam Novel Roro Mendut yang terlihat dalam kutipan berikut.
Baru dalam malam-malam rimba sesudah semua huru-hara itu berlalu Ni Semongko-Wahyuni mulai tahu, bahwa itulah citra keindahan jiwa keningratan bahari, penakhluk-penakhluk gelombang samudra yang mendidih, sinar dari prono manusia yang tak gentar membela kebenaran. (51) “Mendut, anak angin taufan! Arah mana yang kaupilih? Kapal berlayar ganda mana yang kaucari? Mendut, anak kemerdekaan, apakah mungkin kau akan jinak di dalam tembok-tembok istana yang menantimu…” (RM, 1983:52)
“Sesudah puas melihat Mataram ini, saya minta dikembalikan lagi ke rumah ibu saya”
“Siapa bilang aku calon isteri Wiroguno?” tangkis Mendut sungguh kurang ajar,…. (RM, 1983:121)

4.    Kebebasan
Roro Mendut menyampaikan keinginannya untuk hidup bebas melalu tarian yang dipertunjukkannya.
Bagaikan elang menyambarlah Mendut masuk lingkaran pendopo dan menari dengan gelora gesit, membuat bengong para hadirin-hadirat. Tema tarian Mendut sangat jelas menggambarkan bergantian: Elang Merdeka dan Kuda Padang Bebas. (RM, 1983:125)
Selanjutnya, Roro Mendut berani menyampaikan pendiriannya bahwa hati tidak bisa dirampas begitu saja dengan uang dan kekuasaan. Wiroguno ingkar janji kepadanya.
“Tubuh dirampas memang. Tetapi hati tidak.” Gendhuk Duku, yang menjatuhkan dirinya dalam pangkuan puannya, dibelai rambutnya. “Ndhuk, Gendhukku sayang. Sebentar lagi kau akan menjadi wanita cantik juga. Tidak mudah menjadi wanita cantik, Ndhuk. Tidak mudah. Apalagi di kalangan istana. Di sini kita menjadi barang hiburan mereka belaka. Di luar kita lebih mudah menjadi orang.” (RM, 1983:173)
Terima kasih Putri Arumardi! Juga berkat sikapmu, Insya Alloh Mendut dapat merdeka.” (RM, 1983:359)
Roro Mendut menyadari keadaannya yang tidak bebas. Keadaan di Pathi maupun Mataram sama saja baginya. Roro Mendut mengibaratkan dirinya seperti “burung merpati yang hidup dalam sangkar emas.”
Di tengah kepulan-kepulan asap bekas pertempuran dan huru-hara rampokan serba kacau balau kaum pengungsi, Mendut melihat segala peristiwa itu dengan hati yang merana tetapi terjaga dingin. Akhirnya sadarlah ia, bahwa tidak berbedalah sebetulnya, Pathi atau Mataram. Sama-sama kurungan merpati. (36)

Persahabatan
Persahabatan sejati tidak memandang statur dan hubungan darah. Manusia bisa menjalin hubungan persahabatan dengan siapa saja. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering dihadapkan pada keadaan hubungan sosial yang terjalin dengan baik tanpa adanya ikatan apapun. Hubungan saudara sedarah (saudara kandung) sering seperti “orang asing”. Sedangkan “orang asing” sering seperti saudara kandung. Dalam Novel Roro Mendut, ditampilkan hubungan persahabatan antara Roro Mendut dengan sahabat-sahabatnya, seperti dalam kutipan berikut.
Gendhuk Duku ini pantas apabila dulu lahir selaku adik kandut Mendut. Memang aneh sering, namun mengagumkan, jalan-jalan Hyang Mahabijaksana. Sering seorang saudara sekandung terasa asing, bukan sedunia bahkan, sedangkan seseorang yang disebut “orang lain” kok malah terasa bukan “orang lain”, apalagi orang asing. Seolah justru si “orang lain” itulah terasa selaku saudara sekandung. Apakah disini kita bersua dengan percikan Wahyu, bahwa kesaudaraan pada manusia tidak pertama-tama dan terutama berakar pada dasar-dasar daging dan darah, tetapi pada keselarasan kumandang budi dan cita-rasa yang cocok? Artinya: selaras! Dan bahwa dengan begitulah dapat dijembatani jurang-jurang daging dan darah? Sehingga kita dapat menemukan jati diri dan citra bahasa kita dengan lebih mudah, karena kita lalu tidak terlalu gampang terkulai lemas di jalan buntu, macet bahkan putus asa? (RM, 1983:53)
“Barangkali “aku belum siap. Ada seorang sahabat setia yang menderita seperti aku dalam puri, yang tak mungkin kutinggalkan begitu saja.”
“Dayang-dayangmu?”
“Ya.”
“Semua mereka akan ikut kita.”
“Masih satu lagi…, Putri Arumardi, seorang selir muda, sahabat baruku.”
“Dia boleh ikut, kalau mau.”
“Perlu saya persiapkan dahulu.”
“Tetapi ah, … kita tak punya waktu. Bagaimana, sekarang saja?”
“Janga, jangan Mas Prono.”
“Hormat Pronocitro mencum kedua belah mata Mendut.
“Belum pernah aku berjumpa dengan jiwa semulia kau, Adikku… Adikku…. (RM, 1983:322—323)

Hormat dan kagumlah Pronocitro kepada gadis dalam rangkulannya. Setiawan ia kepada sahabat. Dan tidak hanya cari selamat. “Rasa hormat adalah awal cinta sejati,” demikian pesan ayah almarhumnya.” (RM, 1983:324)
“Bahagia jiwaku dapat mengenal kau, Putri Pantai. Yang aku tak sampai, itu kauperoleh: memilih kekasih.”…. Lalu tegaklah kembali Mendut dan dalam-dalam penuh kesayangan, pandangan matanya membelai pandangan mata Arumardi. “Arumardi, mBak-Ayuku! Kau seayah derita, seibu sepi sunyi denganku. Derita dan dambaan hampa itu pun adalah malam yang memungkinkan embun kehidupan. Bila aku bahagia, yakinlah, itu hanya mungkin, berkat keikhlasan yang mengemban kesetiaan dari sekian wanita merana seperti kau.” (RM, 1983:358)

5.    Tolong Menolong
Abu Hurairah r.a., meriwayatkan dari Rasulullah Saw., bahwasanya beliau bersabda: “Barangsiapa menutupi (aib) saudaranya yang muslim di dunia, maka Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Barangsiapa melapangkan satu kesulitan saudaranya di antara kesulitan-kesulitan di dunia, maka Allah akan melapangkan kesulitannya nanti pada hari kiamta, Allah Ta’ala senantiasa memberi pertolongan kepada hamba-Nya selama hamba itu memberikan pertolongan kepada saudaranya muslim.” (Laits dan Samarqandi, 1999:99)
Siasat sudah ia matangkan. Malam ini ialah malam keputusan yang menentukan. Putri Selir itu pasti akan menolong keberhasilan usaha pelarian nanti. Hanya sang Arumardi belum tahu, bahwa malam inilah boleh jadi malam terakhir ia dapat bertemu dengan Mendut. Dua sahabat, namun dua nasib dan dua pengolahan hidup. Putri Arumardi sudah menyatakan kepada sahabatnya, bahwa ia ingin seperti Kumbokarno. Tentulah Wiroguno tidak tepat diibaratkan Rahwono, tetapi sikap Kumbokarno, setia pada tanah air dalam keadaan yang sudah terlanjur, kendati sama sekali tak disukai karena serba salah, hanya itu yang dapat ia jalani. Dan selanjutnya, Allah Maha Pengasih akan mengisi kehidupan nanti. Tidak bahagia, tetapi toh tersenyum membatik bunga-bunga kesetiaan yang bermakna. Mendut sajalah, yang mewayangkan Wibisono berwujud Putri. Akan ia bantu sepenuhnya dia, melawan nasih yang tak disukai, untuk menangani mengolah sendiri hari depan. Arumardi minta diri. Dikecupnyalah Mendut sangat mesra, lalu berdiri dan pergi masuk ke gandhok-nya; diantar oleh Mendut. (RM, 1983:359)

6.    Tugas dan Tanggung Jawab Suami Istri
Al-Faqih menuturkan dari Abdul Wahhab bin Muhammad, dari Muhammad bin Ali, dari Muhammad bin Shahih, dari Abdurrahman Ad-Dauri, dan Abdul Aziz bin Al-Khaththab, dari Hibban bin Ali Al-Anzi, dari Shahih bin Hibban, dari Abdullah bin Huraidah, dari ayahnya, ia berkata:
“Ada seseorang Baduwi dating kepada Nabi Saw. lalu berkata, “Sesungguhnya aku telah masuk Islam, maka tunjukkanlah kepadaku sesuatu yang dapat menambah keyakinanku.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang kamu inginkan?” Ia berkata, ‘Panggillah pohon itu agar datang kepadamu.’ Beliau bersabda, ‘Pergilah kamu dan panggillah pohon itu.” Ia langsung pergi dan berkata (kepada pohon itu), “Penuhilah panggilan Rasulullah itu.” Pohon itu lalu miring ke satu sisi lantar akar-akarnya terangkat, dan miring lagi ke sisi yang lain, lalu maju dan mundur sehingga akar-akarnya terangkat, kemudian berjalan dengan membawa akar-akar dan dahan-dahannya hingga sampai kepada Nabi Saw. dan mengucapkan salam kepada beliau. Orang Baduwi itu berkata, “Cukup, cukup.” Lalu beliau memerintahkan kepada pohon itu untuk kembali ke tempatnya lalu akar-akarnya menancap lagi ke tempat semula dan tegak kembali. Orang Baduwi itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah aku mencium kepada dan kedua kakimu.’ Beliau pun mengizinkannya. Ia berkata lagi, ‘Bolehkah saya bersujud kepadamu?’ Beliau bersabda, ‘Jangan bersujud kepadaku dan seseorang tidak boleh bersujud kepada salah seorang makhluk. Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, tentu aku akan menyuruh isteri bersujud kepada suaminya untuk menunjukkan besarnya hak suami.” (Laits dan Samarqandi, 1999:348)
Selanjutnya, Atha’ meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata sebagai berikut.
“Ada seorang perempuan datang kepada Nabi Saw. dan berkata, ‘Ya Rasulullah, apakah hak suami atas isterinya (kewajiban isteri atas suaminya)?” Beliau bersabda, ‘Isteri tidak boleh menolak (untuk bersetubuh) walaupun ia sedang berada di atas kendaraan, ia tidak boleh berpuasa satu hari saja tanpa izin suaminya kecuali puasa Ramadhan. Apabila ia berpuasa (tanpa izin suaminya), maka pahalanya itu untuk suaminya sedangkan dosanya untuk isterinya. Ia tidak boleh keluar tanpa izin suaminya maka malaikat rahmat dan malaikan siksa mengutuknya sampai ia kembali (ke rumahnya).” (Laits dan Samarqandi, 1999:349)
Suami mempunyai hak dan kewajiban terhadap isterinya. Demikian juga isteri memiliki hak dan kewajiban terhadap isterinya. Dari Qatadah bahwa salah satu khotbah Rasulullah Saw. di Mina adalah sebagai berikut.
“Wahai manusia, `sesungguhnya kamu memiliki hak atas isteri-isterimu dan isteri-isterimu juga mempunyai ha katas kamu. Di antara hakmu atas mereka adalah bahwa mereka harus memelihara tempat tidurmu dan tidak mengizinkan seseorang yang tidak kamu sukai (masuk ke) dalam rumahmu, serta mereka tidak boleh melakukan kekejian yang nyata. Apabila mereka melakukan itu, maka Allah memperbolehkan kamu untuk memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Dan di antara hak mereka atas kamu adalah pakaian dan nafkah yang layak.” (Laits dan Samarqandi, 1999:350)
Selanjutnya, diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a., dari Nabi Saw., beliau bersabda sebagai berikut.
“Sesungguhnya apabila isteri mengerjakan salat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, memelihara kemaluannya, dan patuh kepada suaminya, maka ia boleh masuk dari pintu surge yang mana saja yang ia kehendaki.” (Laits dan Samarqandi, 1999:351)
Nyai Ajeng. Ketika Mendut dapat membayar pajak sepuluh real, ia pun merasakan bahwa Mendut adalah pahlawan juga. Namun, sebagai seorang isteri ia pun memiliki kewajiban untuk tetap membela suaminya.
Harus diakui, Roro Mendut menang gemilang. Kemenangan Roro Mendut pada hakekatnya kemenangan kaum wanita juga. Hal itu sangat terasa oleh Nyai Ajeng, yang selain wanita cantik, bernalar cerdas juga. Ada dalam diri seorang istri yang mendorongnya membela suami. Akan tetapi, dalam banyak segi, setelah kedudukan dan penghargaan selaku isteri atau ibu tercapai, maka segi wanitalah yang akan lebih berbicara. Bagaimanapun, Roro Mendut toh semacam pahlawan juga. (RM, 1983:295)
Sendi perasaan Nyai Ajeng terhadap Mendut bukan kebencian atau iri hati. Barangkali itu juga ikut-ikut, sebab mana ada wanita bebas rasa cemburu. Tetapi dasar sikap Nyai Ajeng pada hakekatnya hanyalah ingin melindungi suampi pujaannya melawan kemungkinan-kemungkinan yang dapat merendahkan derajad maupun nama sang Wiroguno. Oleh karena itu terhadap Mendut perasaan Nyai Ajeng semakin dicampuri kagum serta iba hati. (RM, 1983:225)

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dijelaskan bahwa Nyai Ajeng berusaha melindungi suaminya dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat merendahkan derajad maupun nama baik Tumenggung Wiroguno.




























BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya ini menceritakan mengenai penindasan yang dialami oleh perempuan. Penindasan dan pemberontakan ini merepresentasikan kondisi yang dialami oleh perempuan Indonesia pada awal terbitnya novel ini 1980-an dan kondisi saat ini masih berpegang kepada sistem patriarki, dimana perempuan dibawah laki-laki.
Roro Mendut berasal dari rakyat jelata yang memiliki karakter yang kuat, tangguh, dan cerdas. Kecerdasan tokoh dalam mengamati dan merasakan keadaan lingkungan sekitarnya, menyadarkannya dalam kondisi tertindas. Kesadaran inilah yang mendorong mereka untuk melakukan pemberontakan terhadap budaya priyayi Jawa yang mengelilingi mereka yang sangat kental dengan sistem patriarki. Pemberontakan ini dilakukan untuk mengubah nasib mereka dan mereka berani untuk melakukan perbuahan dengan segala resikonya.
Meskipun novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya ini berlatar kehidupan sosial budaya kerajaan Mataram, permasalahan dalam novel tersebut berkaitan dengan persoalan ketika pengarang memproduksi teks novel ini, yaitu pada tahun 1983. Pada masa itu, cerita novel merepresentasikan kondisi perempuan Indonesia di tahun 1980-an, yaitu peran ganda perempuan dalam kehidupan berumah tangga.
Untuk menjadi setara dengan laki-laki, perempuan harus melakukan peran ganda, yaitu berperan sebagai ibu dan istri (di wilayah domestik) dan berperan membantu suami mencari nafkah (di wilayah publik). Peran ganda tersebut masih berlangsung hingga sekarang. Akan tetapi, peran ganda ini menyebabkan beban perempuan menjadi lebih berat karena menjalankan jenis kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan rumah tangga dan kegiatan mencari nafkah pada industri rumah tangga, kegiatan mencari nafkah pada kesempatan lain, kegiatan sosial dan masyarakat, dan kegiatan individual. Dengan demikian, banyak peran yang harus dilakukan oleh perempuan menandakan bahwa perempuan menjalankan beban ganda.
 Novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya menganalogikan bagaimana dominasi laki-laki terhadap perempuan dan pandangan-pandangan masyarakat tentang wanita. Dari sana kita dapat belajar bahwa meskipun dalam situasi yang terjepit dan sulit, perjuangan kaum wanita dalam mencari kebebasannya dari dominasi laki-laki harus terus diperjuangkan. Kemenangan dari perjuangan itu bukanlah dalam bentuk fisik, namun dalam keberanian untuk mendobrak dominasi itu sendiri, dan tidak mengikuti hirarki nilai yang diciptakan laki-laki dalam masyarakat. Perlawanan Roro Mendut adalah simbol perlawanan perempuan menolak tunduk pada dominasi laki-laki
Selanjutnya, nilai-nilai sosial yang terkandung dalam Novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Kasih Sayang, 2. Pandai Bersyukur, 3. Keberanian, 4. Kebebasan, 5. Persahabatan, 6. Tolong-menolong, dan 7. Tugas dan Tanggung Jawab Suami Isteri
  
5.2.1 Implikasi Akademik
Penelitian ini memberikan kontribusi mengenai kajian sastra strukturalisme genetik. Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa karya sastra yang merupakan bagian dari media komunikasi massa bisa dijadikan sarana komunikasi yang baik dalam menyampaikan pesannya kepada pembaca. Dalam penelitian ini, pengarang menggambarkan perjuangan dan pemberontakan yang dilakukan oleh para tokoh.

5.2.2 Implikasi Praktis
Wacana dalam sastra merupakan media komunikasi yang baik sebagai sarana menyadarkan posisi perempuan dalam masyarakat. Walaupun novel bersifat didominasi untuk fungsi menghibur, para pembaca dan perempuan khususnya, jangan begitu saja menelan dan memasukan wacana yang ada di dalam tulisan tersebut. Semoga penelitian ini bisa bermanfaat bagi para pembaca dan sebagai sarana penyadaran terhadap sistem patriarki sekaligus melakukan pemberdayaan kepada perempuan.

5.3 Saran
Secara akademis, penelitian mengenai karya sastra dan analisis struturalisme genetik adalah sesuatu yang menarik untuk diteliti. Semoga pada penelitian selanjutnya, akan ada penelitian karya-karya sastra lainnya disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Secara praktis, penulis berharap akan banyak lahir pengarang-pengarang sastra yang mampu menjabarkan kondisi sosial budaya berdasarkan sejarah yang memang berusaha untuk memberikan penyadaran yang sesungguhnya.
Secara sosial, novel ini diharapkan mampu menjadi media komunikasi penyadaran bagi masyarakat, bukan hanya di khususkan bagi perempuan tetapi juga bagi laki-laki. Novel ini diharapkan menjadi sarana untuk mampu berpikir kritis. Selanjutnya, nilai-nilai sosial yang terkandung dalam novel ini dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Daftar Pustaka Tambahan
Laits, Al-Faqih Abul dan As-Samarqandi. 1999. Tanbihul Ghafilin: Nasehat bagi yang Lalai. Jakarta: Pustaka Amani.